Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Usaha Mengakrabi Alam di Wasior

18 Juli 2017   10:52 Diperbarui: 18 Juli 2017   21:05 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memandang teluk dari Sungai Manggurai. Foto: Egy Erzagian

Namun analisis penyebab banjir 2010 mengatakan, air bah terjadi akibat longsor membentuk bendung alami yang jebol setelah tak lagi kuat menampung air dan bebatuan. Hal ini berarti peristiwa banjir bukanlah hal yang bisa rutin terjadi, melainkan bencana yang sesekali terjadi. Usaha mencegah banjir kembali terulang bisa dilakukan dengan mengidentifikasi longsor di pegunungan, yang tak mungkin dipasang alat deteksi sebab keterjangkauan yang maha sulit. Daerah aliran sungai menghulu jauh ke timur, di puncak-puncak berbiku hutan tak terjamah. Cara yang lebih masuk akal adalah membuat sabo dam di sepanjang aliran sungai untuk setidaknya memperlambat laju hempasan air dan rajin mengeruk sungai melalui kegiatan normalisasi.

Siapa sangka, upaya penanggulangan ini berbenturan dengan adat istiadat setempat. Dengan hak tanah ulayat, pemerintah kerap kesulitan mengeksekusi program yang telah disebutkan di atas. Pasalnya, pemilik tanah akan memasang harga yang amat mahal untuk setiap program pemerintah yang dilakukan di atas tanah ulayatnya. Tak terkecuali lahan sungai. Bahkan untuk normalisasi, pemiliki tanah mematok biaya pengerukan per boks truk material yang diambil dari sungai. Padahal kegiatan tersebut murni untuk mencegah bencana yang mengancam, dan sama sekali bukan untuk kepentingan komersial.

Perihal masyarakat, sekalipun kesadaran kebencanaan telah tampak di kalangan warga, namun merangkul masyarakat untuk mempermudah program penanggulangan bencana adalah tantangan tersendiri bagi pemerintah Teluk Wondama. Urusan tanah ulayat adalah perkara mendasar yang tak akan berhenti diributkan sebelum pemilik tanah merasa mendapat kompensasi yang diinginkan. Bukan mustahil orang akan memblokir jalan atau bahkan memasang palang pada rumah ibadah saat kisruh urusan tanah.

Biaya lebih setidaknya, harus disiapkan untuk sementara mengikuti arus dan bermain lentur terhadap kebiasaan penduduk setempat sebelum ditemukan cara jitu untuk mengubah pandangan warga akan pentingnya pembangunan fasilitas umum untuk keselamatan bersama. Sedang untuk masyarakat, saya menaruh hormat pada tradisi lokal, namun berharap agar pihak pemilik tanah dapat lebih berkompromi dalam pemanfaatan lahan yang murni untuk kepentingan umum.

Air sungai meluap ke jalan kala hujan di sebuah malam di Teluk Wondama dan debit air di sungai meningkat tajam dalam waktu singkat. Orang-orang hidup dalam potret negeri bahari nan kaya dan tanah nan permai, namun bertudung gelisah akan bahaya dari air dan bebatuan pegunungan. Seribu rintangan menghadang dalam setiap ikhtiar mengupayakan keselamatan, namun cercah harapan akan selalu ada dalam menata wilayah dan manusia yang tangguh bencana. Dan mengutip sebait doa kepala adat saat peresmian alat deteksi dini banjir bandang, Tuhanlah yang memberikan anugerah alam dan ujian dalam bentuk bencana, maka Tuhan pula akan memberikan kekuatan untuk menghadapinya.

Pelabuhan dan kota Wasior, di kaki Pegunungan Wondiboi. Foto: Ports of Indonesia.
Pelabuhan dan kota Wasior, di kaki Pegunungan Wondiboi. Foto: Ports of Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun