Sebagai wanita yang memiliki prinsip hidup yang kuat, Emily tidak ingin tujuannya dalam hidup diatur oleh orang lain. Termasuk orangtuanya sendiri. Setelah memperjuangkan keinginannya bahwa Emily tidak ingin menikah, atau setidaknya belum, dan menolak semua pria yang dicoba ditawarkan kepada dirinya, Emily memperjuangkan haknya dalam berkarya. Bahkan condong berkeinginan untuk menjadi seorang yang terkenal.
Emily Dickinson, pujangga wanita yang hidup di tahun sekitar 1800-an, memiliki hidup -yang bisa dikatakan- berwarna karena ada banyak hal menantang yang dekat dengan dirinya. Bukan hanya karena menentang perjodohannya, namun juga karena bertemu dengan banyak orang dengan perjuangan yang berbeda. Sehingga memberikan dia energi untuk mendapatkan puisi yang terus "mengalir" ke dalam dirinya. Meskipun ada momen Emily kena writer block juga.
Terkesan sangatlah kuno namun tetap estetik melihat Emily Dickinson (Hailee Steinfeld) menuliskan puisi-puisinya dengan pensil di atas kertas. Bahkan menggunakan kertas bekas seperti halnya amplop surat bekas. Dia bisa duduk seharian di meja tulisnya yang menghadap jendela dan memikirkan kata-kata untuk digoreskan di atas kertas.
Jika Emily hidup di dekade kedua abad 21, tentu dia hanya perlu menuliskan puisi-puisinya di dalam satu dokumen file Microsoft Office Word. Mungkin dengan nama filenya, Puisi Emily Dickinson Draft. Kemudian dengan memberikan suasana nyaman di ruangannya supaya mendapatkan ide menulis, dia bisa memutar lagu-lagu di spotify. Mungkin memutar playlist buatan sendiri atau mungkin playlist chill beats vibes.
Keinginan Emily untuk being publish masih naik-turun. Kadang mau kadang tidak. Being famous segan, being nothing tak mau. Padahal di zamannya cukup sulit mendapatkan redaktur koran yang ingin menerbitkan tulisan seorang perempuan di koran mereka. Namun beruntungnya Emily bertemu satu orang tersebut yang bersedia untuk menerbitkan puisi-puisi Emily. Bahkan akan tersedia di halaman depan.
Karena keprinsipannya, Emily berubah pikiran untuk tidak mempublish puisi-puisinya melalui Samuel Bowles (Finn Jones) redaktur di koran Springfield Republican. Dengan teguh dia ingin puisi-puisinya tetap menjadi miliknya, bukan redaktur, bukan pembaca koran, dan juga seakan bukan orang-orang di bumi.
Memang ada kekeliuran di kejadian ini. Emily yang banyak menulis puisi tentu ingin puisi-puisinya dapat dinikmati juga oleh banyak orang. Hanya saja jika memberikan semua puisi yang ada ke seorang redaktur, maka Emily merasa bahwa hidupnya terikat dan terkekang oleh sang redaktur koran tersebut. Puisi yang telah berpindah tangan akan bergantung pada sang redaktur koran. Bukan lagi bergantung pada penulisnya. Ini lah yang membuat Emily ingin puisinya tetap ada di dalam kendalinya.
Jika Emily hidup di zaman sekarang, tentu dia tidak perlu mencemaskan lagi tentang puisi-puisi yang sulit terpublish. Kalo Emily lagi ngelamun sambil lihat-lihat puisi-puisinnya di laptop, dia bisa langsung pilih satu atau tiga puisi untuk dipost di blog. Lebih efektif lagi bisa ditayangkan di kompasiana untuk cek ombak pendapat orang-orang mengenai puisinya. Kalo mau yang lebih estetik lagi bisa dipost di instagram, puisinya tulis di caption disertai foto estetik yang menjual di mata. Kira-kira seperti ini,
Because I could not stop for Death -
He kindly stopped for me -
The Carriage held but just Ourselves -
And Immortality.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!