Di hadapan kaca, aku berdiri,
menatap bayang yang tak pernah lari.
Wajah itu, akukah dia?
Atau sekadar ilusi dari realita?
Kaca membisu, tapi tak berbohong,
memantulkan luka yang terlalu kosong.
Tiap retak, tiap garis halus,
adalah waktu yang diam namun terus menggerus.
Ada kenangan tersimpan di sana,
tawa yang pudar, air mata yang membekas.
Kaca menjadi saksi tanpa bicara,
segala cerita yang tak ingin diulas.
Aku bertanya pada pantulan,
"Akankah kau tetap menjadi aku?
Ketika mimpi terkubur oleh kenyataan,
dan jiwa lelah melawan waktu?"
Kaca tak menjawab, hanya mengulang,
memperlihatkan aku yang diam memandang.
Namun di balik itu, aku sadar,
kaca hanyalah cermin---aku yang menentukan arah.
Maka hari ini, kubersihkan debu di permukaannya,
seperti membersihkan hati dari beban lama.
Kaca dan aku, kita sama,
melihat, merefleksikan, dan mencari makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H