Bentangan alam di Pulau Sumatera, sangat menarik untuk ditelisik. Alam yang kaya dengan sumber daya alam, dihiasi dengan jajaran perbukitan di sebelah barat. Jajaran bukit itu membentang dari sisi utara ke selatan seolah menjadi rangka penyokong pulau ini. Ya, begitulah kenampakan alam Sumatera yang terlihat dari peta-peta topografi. Namun ada satu hal yang menarik perhatian, sebuah keajaiban alam terbentuk di bagian utara pulau ini. Keberadaan danau purba yang mengelilingi pulau besar di tengahnya adalah keajaiban alam yang dimaksud. Danau ini dikenal luas dengan nama Danau Toba.
Danau Toba berada di dataran tinggi Sumatera bagian Utara, sekitar 900 mpdl. Danau ini memiliki luas sekitar 1145 km persegi dengan kedalaman mencapai 505 m. Kondisi ini menjadikan Danau Toba sebagai salah satu danau terbesar sekaligus terdalam di dunia. Di tengah danau, terdapat sebuah pulau bernama Pulau Samosir, luasnya sekitar 63.000 hektare. Hampir sama dengan luas negara Singapura.
Secara administratif, Danau Toba berada di provinsi Sumatera Utara. Danau ini dikelilingi oleh tujuh kabupaten yang berbeda di Sumatera Utara yakni Simalungun, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir. Wilayah ini telah dihuni sejak ratusan tahun lalu oleh penduduk lokal yang disebut sebagai Halak Batak, atau orang batak.
Danau Toba menyuguhkan pemandangan berupa Hamparan danau membiru  dikelilingi julangan bukit menghijau sejauh mata memandang. Lanskap alam seperti ini, pastinya akan membuat orang-orang terpukau melihatnya. Namun demikian, Danau Toba tidak hanya memiliki pesona alam menakjubkan, tetapi juga menyimpan cerita sejarah lampau yang memukau bagi ilmuwan dan bagi orang Batak sendiri.
Toba, Pengubah Sejarah Dunia
Para ahli geologi percaya bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan gunung berapi raksasa yang terjadi sekitar 69.000 hingga 70000 tahun yang lalu. Letusan mahadahsyat itu menyemburkan abu vulkanis hingga sampai jauh ke wilayah Asia Selatan (Jones, 2007). Letusan gunung ini juga berdampak pada iklim dunia pada masa itu. Alan Robock dkk. berpendapat bahwa letusan supervulcano Gunung Berapi Toba menyebabkan musim dingin vulkanik di dunia. Suhu rata-rata turun maksimal sekitar 15 Â derajat celcius dan bertahan selama beberapa dasawarsa. Hal ini berdampak buruk bagi kehidupan manusia di masa itu (Robock, dkk, 2009).
Meskipun masih kontroversial, teori baru tentang sejarah kehidupan manusia terkait dengan peristiwa letusan Gunung Toba ini. Misalnya, teori penyusutan genetik dan teori migrasi manusia. Para penyokong teori penyusutan genetik percaya bahwa dampak perubahan lingkungan yang disebabkan letusan vulkanis Gunung Toba telah menurunkan populasi manusia menjadi 3000-10000 orang saja.Â
Oleh sebab itu, keragaman genetik yang dimiliki manusia modern saat ini, berasal dari pasangan manusia yang selamat dari bencana tersebut. Bayangkan saja, bila bencana vulkanis Gunung Toba tidak terjadi, mungkin genetika yang dimiliki manusia lebih beragam daripada yang dijumpai saat ini.
Teori lain yang dikaitkan dengan dampak letusan Toba adalah migrasi manusia. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa leluhur manusia modern mulai hijrah atau bermigrasi dari Afrika ke penjuru lain di dunia pasca letusan tersebut. Temuan arkeologi menyimpulkan bahwa migrasi manusia modern keluar Afrika terjadi pada sekitar 60000 hingga 70000 tahun yang lalu. Â Hal ini ternyata selaras atau tidak berjauhan dengan waktu letusan Toba terjadi. Manusia yang tidak berdampak parah kala itu mungkin mencari wilayah baru untuk dihuni sebagai strategi bertahan hidup.
Danau Toba menjadi saksi bisu peristiwa geologis dan bencana alam yang mempengaruhi sejarah kehidupan manusia. Patut saja, Danau Toba ditetapkan sebagai warisan geopark global oleh UNESCO mengingat bukti-bukti ilmiah yang ditemukan di sekitarnya.