"Dengan topi hijau bundar pelindung teriknya matahari, dan "tongkat" skala belang hitam-putih yang dipegang di tangan, saya berkeliling wilayah Kerinci untuk mengumpulkan "data" arkeologi yang nantinya diceritakan kembali riwayatnya termasuk riwayat orang-orang yang melatarbelakangi keberadaan benda-benda purbakala itu di masa lampau.
Kadangkala, karena ketidaktahuan masyarakat setempat akan profesi sebagai arkeolog, pandangan sinis kerapkali dilayangkan kepada mereka.Â
"Jungkir balik" mencari, mengukur dan memotret batuan usang, mengorek dan menggali tanah untuk mencari sisa-sisa yang ditinggalkan oleh mereka yang hidup di masa lampau, bukan tak mungkin banyak yang menganggap mereka sebagai orang gila.
Tak sampai di situ, para arkeolog terkadang menggunakan berbagai peralatan canggih dalam rangka mengumpulkan dan mengolah data.Â
Mereka juga membawa data yang terkumpul itu untuk dianalisis di laboratorium canggih. Sudah barang tentu apa yang mereka lakukan tidaklah murah dan mudah.Â
Selanjutnya, olahan data yang mereka peroleh ditafsirkan dan diceritakan dengan sebaik mungkin sesuai dengan kaidah keilmuan.Â
Hasil tersebut kemudian dipublikasikan melalui karya-karya tulis seperti seminar, jurnal, artikel, buku, majalah dan berbagai media massa agar diketahui oleh masyarakat luas.
Namun sayang seribu sayang, hasil jerih payah arkeolog ini kadangkala terabaikan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pemilik sendiri.Â
Hasil penelitian tersebut seringkali tak kunjung direspon oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan pelestarian. Pun begitu pula dengan narasi kehidupan lampau yang mereka ceritakan, diabaikan dalam mengambil dan menentukan kebijakan-kebijakan mendatang.Â
Semisal kajian mereka terhadap kehidupan maritim pada masa Sriwijaya. Seharusnya, kebijakan-kebijakan yang diambil penguasa Sriwijaya di masa lampau, bisa diacu oleh pemerintah Indonesia saat ini, bukankah sebagian Negara Sriwijaya di masa lalu menjadi bagian dari Negara Indonesia saat ini? Sriwijaya tergolong negara yang sukses dalam mengelola wilayah maritim dan mengatur masyarakatnya yang majemuk hingga dapat bertahan selama beberapa abad.Â
Bukan hanya hasil kajian mereka yang cenderung kurang dimanfaatkan, profesi arkeolog sendiri juga dianggap tidak menguntungkan secara ekonomis oleh masyarakat sehingga profesi ini bisa dikatakan minim peminat.Â