Hari raya sejatinya momen untuk berbahagia, namun tidak begitu bagi "sikatip" (penulis) naskah Incung pada dua ruas bambu yang kemudian disimpan sebagai pusaka oleh Depati Satyo Mandaro Dusun Rawang, Kerinci. Momen hari raya justru diwarnai oleh kesedihan sikatip atas penderitaan yang dialaminya. Naskah yang terdiri dari 45 baris ini, diidentifikasi sebagai naskah Tambo Kerinci (TK.) bernomor 60 oleh Voorhoeve (lihat: http://ipll.manoa.hawaii.edu/tambo/b.html#34) .
Sejumlah teks menunjukkan bahwa naskah ini memang ditulis bertepatan pada Bulan Haji, menjelang hari raya. Seperti frasa "berbuka di bulan Haji (baris 14 ruas ke-1)" dan "Kemenyan Haji " baris 9 ruas ke-2). Secara lebih lengkap ditulis oleh sikatip dalam kalimat yang berbunyi: "kaya babuka di bulan haji  itu datung, kalu hada balabih nasi dingin tasisa lemang basi kaya datung tangah karana haku litak hidak maninggang". Terjemahannya kira-kira begini: anda berbuka (puasa) di Bulan Haji wahai Bibi, jikalau ada  nasimu yang telah dingin berlebih atau sisa lemangmu yang telah basi- berikan untuk saya- sebab saya begitu letih tiada tertahankan  lagi, tulis sikatip.
Maksud frasa "berbuka di Bulan Haji" adalah momen ketika puasa tarwiyah dan puasa arafah digelar oleh masyarakat Kerinci yaitu pada hari ke-8 dan ke-9 bulan Zulhijjah. Pada sore harinya mereka berbuka dengan "lemang" yang memang khusus dibuat untuk menyambut hari raya. Hal inilah yang menguatkan bahwa naskah ini ditulis bertepatan dengan momen  perayaan Haji.
Hal ihwal penyebab "sikatip" kehilangan momen berbahagianya di hari raya adalah karena ia telah kehilangan kekasihnya  yang ia ibaratkan seperti  "pisau balanday kuning"  (baris ke3- dan ke-4) atau seumpama Burung Seluli Putih (baris ke-5). Kekasihnya itu memilih orang lain yang dianggap lebih baik darinya. "Burung itu hinggap di atas kayu ara besar yang rimbun daunnya, yang memberi keteduhan dan dibawah pohon itu ada pula sungai yang banyak ikannya" tulis sikatib menggambarkan keadaan "pelakor" yang merebut sang kekasih. Â
Bayangkan saja, dalam tradisi orang Kerinci selepas hari raya Idul fitri hingga menjelang hari raya haji merupakan rentang di mana upacara pernikahan kerap digelar. Bagi sikatip justru berlaku sebaliknya, Â jangankan bermimpi untuk menghelat kenduri kawin, sang kekasih justru "ditilep" orang .
Kesedihan sikatib itu berimbas pada keinginannya untuk pergi meninggalkan kampung halaman. "Merantau" mirip kisahnya Zainuddin dan Hayati. Walaupun berat hati meninggalkan kampung halaman, ibu bapa dan sanak keluarganya. Kata sikatib: "Putuh tali pangantung timah, putuh pangantung buah jala, putuh hati haku mamandang rumah, tapan baguraw sadukala" [putus tali penggantung timah, putus penggantung buah jala, putus hatiku memandangi rumah, tempat bermain sejak dulu kala]. Berkenaan keinginan merantau itu, sikatip minta doa selamat dan doa tolak bala seiring dengan kepulan asap kemenyan "haji" tatkala orang-orang sedang kenduri/selamatan.
Kisah sikatip ini, hendaknya dapat diambil pelajaran moral bagi anak muda di zaman sekarang. Betapapun beratnya tekanan psikologis yang dialami oleh sikatip, "berjalan tak tentu arah, naik dan turun rumah bibi-bibinya hanya untuk minta makan", tulis sikatip menggambarkan kondisinya saat itu.Â
Akan tetapi ia tidak putus asa, walaupun ia sadar kemalangan nasib yang menimpanya. Momen itu justru membuatnya bertekad untuk merantau, pergi jauh dari kampung halaman, mencari kehidupan yang lebih baik atau mungkin hanya untuk sekedar refreshing mencari ketenangan jiwa. Kiranya masalah "percintaan" adalah masalah sepele, yang tak perlu sampai melakukan tindakan "bunuh diri" seperti banyak terjadi pada generasi masa kini.
Adakah pembaca yang pernah mengalami kejadian serupa seperti sikatip penulis Incung ini?
"Selamat Berhari Raya Haji"
Referensi:Â