Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak sore tadi hingga artikel ini diketik, seiring pula dengan berakhirnya  seminar mengenai epigrafi yang digelar oleh kampus saya sejak sehari yang lalu. Dua peristiwa ini menggiring saya untuk bercerita tentang pengalaman yang cukup menarik, sebelum saya berlayar ke pulau mimpi. Moga-moga menjadi sesuatu yang berharga pula bagi pembaca.Â
Pengalaman itu adalah tentang bagaimana saya  mempelajari berbagai aksara. Cerita pengalaman ini bukan dimaksudkan untuk menyombongkan diri melainkan untuk mengajak pembaca sekalian agar lebih mencintai khazanah kebudayaan Indonesia, salah satu caranya dengan mempelajari kekayaan aksara yang digunakan oleh nenek moyang kita.Â
Kebanyakan orang-orang menganggap mempelajari sesuatu haruslah melalui bangku sekolah formal, saya tidak begitu setuju dengan anggapan ini, bagi saya belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Di sisi lain, manusia diberikan pilihan untuk belajar apa yang ia ingini dan kehendaki, entah itu hal yang "baik" maupun "buruk". Oleh karenanya, setiap manusia memiliki pengetahuan yang unik dengan karakternya masing-masing yang diperoleh selama proses belajarnya, Â tak akan ada manusia yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang persis sama.
Mempelajari 'banyak' aksara bagi saya merupakan sebuah pengalaman unik dan menarik yang tentunya tidak dimiliki oleh semua orang. Hal ini dikarenakan sedikit sekali yang berminat akan hal ini, apalagi di era global, pembangunan yang lebih berorientasi pada unsur fisik membuat banyak orang mengabaikan sisi kebudayaan.
Aksara yang pertama kali saya pelajari adalah aksara latin. Suatu aksara tinggalan Hindia-Belanda yang terus digunakan hingga kini. Tentu saja semua kita belajar aksara ini, sehingga di bagian ini saya tak perlu memperpanjang kata.
Aksara ke dua yang saya pelajari adalah aksara Arab. Sebagai seorang muslim kampung yang hidup di pedalaman Jambi, belajar 'ugama' terutama baca tulis arab sangatlah penting.Â
Soalnya setiap kegiatan peribadatan wajib yang dilakukan selalu menggunakan bahasa Arab sehingga hal ini mengharuskan seorang Muslim bisa baca tulis aksara arab, di mulai dari mengenal huruf hijaiyah, belajar melafalkan huruf (makhraj huruf), ilmu tajwid hingga mampu membaca tulisan arab dengan baik dan benar terutama teks Alqur'an. Semua pelajaran inj saya dapatkan di luar pendidikan formal, atau lebih tepatnya pendidikan tradisional di kampung-kampung.Â
Tahun 1990-an suasana pendidikan Islam tradisional masih saya rasakan di pedalaman Jambi. Saya dan teman2 yang saat itu masih berusia sekitar 5-6 tahun pergi berguru ke rumah2 ulama kampung dengan bayaran dua tekong beras yang dibayarkan seminggu sekali. Kadangkala disertai dongkol hati karena menyita waktu bermain dan dipaksa orangtua.Â
Pelajaran tentang aksara Arab terus berlanjut hingga tingkat SMA. Kebetulan saya melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah tetapi jurusannya sains, namun jurusan sains yang saya pilih tak lantas mematikan langkah saya untuk mempelajari hal-hal lain di luar sains. Bahkan di sini saya belajar lebih banyak ilmu terutama ilmu bahasa arab (Lughatul 'Arabiyah) dan ilmu nahwu sharf. Walaupun pengetahuan yang saya miliki masih sangat terbatas.
Aksara ke tiga yang saya pelajari adalah aksara Jawi disebut pula dengan sebutan aksara Arab-Melayu atau Arab-Pegon. Aksara ini berasal dari huruf hijaiyah yang diadaptasi sesuai dengan bahasa yang digunakan di Nusantara. Aksara ini telah digunakan sejak masa Kesultanan Islam di Indonesia sekitar abad ke 16 M.Â
Saya belajar aksara ini, di luar bangku sekolah. Pengenalan pertama terhadap aksara ini, ketika saya masih duduk di bangku kelas 3 SD. Tiap sore sepulang sekolah, guru mengaji menyediakan sesi baca tulis Arab Melayu, kami disuruh menulis tiap kata atau frasa yang beliau ucapkan dan kemudian satu persatu kami menuliskannya di papan tulis. Padahal saat itu, aksara Jawi sama sekali tidak digunakan lagi.Â