Rantau XII Koto memang tidak familiar dalam telinga masyarakat adat Kerinci, sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu, naskah TK 161 juga memuat gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu namun tidak menyebutkan tempat kediaman/kedudukannya.
Dalam beberapa sumber yang saya baca Rantau XII Koto adalah wilayah jajahan dari raja ke tiga  dalam periode awal Kerajaan Sungai Pagu yaitu Niniak Sutan Parendangan Bagumbak Putiah Bajangguik Merah yang berkedudukan di Koto Tuo (Alam Pauah duo) (lihat di sini atau di sini ). Namun berbeda dengan saat ini, gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu justru tidak digunakan lagi di Kerajaan Sungai Pagu melainkan di wilayah Rantau XII Koto. Sebagaimana diketahui Kerajaan Sungai Pagu saat ini dipimpin oleh Raja Nan IV yaitu Raja Alam Daulat Yang Dipertuan Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah, Raja Adat Yang Dipertuan Besar Tuanku Rajo Bagindo, Raja Ibadat Tuanku Rajo Batuah, dan Rajo Tigo Lareh Tuanku Rajo Malenggang (lihat di sini).Â
Oleh sebab itu, mestilah ditelusuri kapan perjanjian batas wilayah antara Kerinci dan Sungai Pagu dibuat? apakah ketika raja yang bergelar YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah itu masih berkedudukan di wilayah Sungai Pagu atukah sudah berpindah kedudukannya di Rantau XII Koto (Lubuk Gadang)?Karena perjanjian batas wilayah ini merupakan bagian dari dinamika sejarah masa lalu di ke dua wilayah sehingga tidak bisa dilihat dari struktur adat/pemerintahan adat yang sekarang. Hemat saya, berdasarkan Tembo Kerinci perjanjian batas ulayat ini dibuat ketika YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah masih berdiam/berkedudukan di Koto Tuo, Banuaran (Alam Pauah Duo).Â
Bagi saya, persoalan di mana kedudukan YDP Marajo Bungsu dalam permasalahan pemilik Gunung Kerinci ini tidak begitu penting. Yang jadi soal adalah adakah Gunung Kerinci ataupun Gunung Berapi disebut-sebut dalam batas-batas wilayah adat mereka. Oleh sebab itu saya merujuk pada dua sumber pertama,naskah Tembo keluarga Yang Dipatuan Marajo Bungsu Rantau XII Koto yang dimuat dalam De talen en letterkunde van midden-sumatra, 1881 (p. 160) (atau lihat di sini). Awal naskah tersebut berbunyi:Â
"Njinjiek nan moelo – moelo, nan mantjantjang melotie negori doewo bole koto, nan bagalaw njinjiek soetan bandoro nan turun dari bukik seguntang – guntang, duo jo niniek Rajo Putieh, mulo – mulo mandopek ka gunuang nilam ijau, turun ka bulai duo, dari bulai duo ka koto tuo, dari koto tuo ka pasimpai. Negori – negori nan dalam pegangan yang di patoean Marajo boengsu sainggan patadjin muaro sebo , sainggan tanjuang simalidoe. Namo negori dalam iko : Tanjuang, simalidoe, Padang Loweh, Poelai, Siguntua, Loebuak Boelang, Sikabaoe, Soengai Dore, Pulaoe Poenjuang, Soengai Kilangan, Soengai Kambuik, Loeboeak oelang Aling, Dusun Tangah, Si Topoes, Abai, Muaro Ikua, Bidar Alam, Lubuak Malako, Jopang, Sampu, Lubuak Godang, Pasimpai, Tanjuang Alam, Tanjuang Balik, Sungai Limau, Batu Angi, Batu Kungkuang, Koto Ubi, Koto Ilalang, Talau, Junjuang Siriah, Tarantang, Sungai Tabakaw" (Veth, 1881:160).Â
(Nyiyiek yang mula-mula, yang mencencang melati(?) negeri Dua Belas Koto, yang bergelar Nyinyiek Sutan Bandaro yang turun dari Bukit Siguntang-Guntang, dua dengan niniek Rajo Putieh, mula-mula mendapat ke Gunung Nilam Hijau,turun ke Bulai Duo, dari Bulai Duo ke Koto Tuo, dari Koto Tuo ke Pasimpai. Negeri-Negeri yang dalam pegangan Yang Dipatuan Marajo Bungsu Sehingga Petajin Muaro Sebo, Sehingga Tanjung Simalidu.
Nama Negeri dalam ini, Tanjung Simalidu, Padang Loweh, Pulai, Siguntur, Lubuk Bulang, Sikabu, Sungai Dareh, Pulau Punjung, Sungai Kilangan, Sungai Kambut, Lubuk Ulang Aling, Dusun Tengah, Sitapus, Abai, Muara Ikur, Bidar Alam, Lubuk Malako, Jopang, Sampu, Lubuk Gadang, Pasimpai, Tanjung Alam, Tanjung Balik, Sungai Limau, Batu Angi, Batu Kangkung,Koto Ubi, Koto Ilalalang, Talu,Junjung Sirih, Tarantang Sungai Tabakau).
Yang kedua Dari Tambo Alam Surambi Sungai Pagu (lihat di sini) disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Sungai Pagu meliputi: Dari Balun Batu Ilie, lalu ke Languang dan Koto Baru, sampai ke Pauh Duo nan Batigo, Batang Marinteh Mudiak, lalu ke Sako Luhak Nan Tujuh, sampai ke Pesisir Banda nan Sepuluh, kalang Hulu Salido tumpuan Aie Haji (Dari Balun Batu ke hilir, terus ke Languang dan Koto Baru, sampai ke Pauah Duo nan Batigo, Batang Marinteh ke mudik, terus ke Sako Luhak nan Tujuh, sampai ke Pesisir Banda nan Sapuluah).Â
Ke dua tambo ini, baik yang berasal dari Rantau XII Koto maupun Alam Surambi Sungai Pagu, sama sekali tidak memuat kata Gunu(a)ng Berapi atau Gunung Kerinci. Tetapi Ghiovani mengatakan bahwa  "Wilayah-wilayah Pematang Rantau yang dibawahi oleh Tantua Raja Sahilan sebagai Pucuk Pimpinan Tiang Panjang Nan Batujuah Rantau XII Kota membawahi jalur lama menghilir menuju Kerinci termasuk didalamnya tertumbuk ke Gunung Berapi hilir adalah genggaman Daulat Yang Dipertuan Maharaja Bungsu diam di Rantau XII Koto". Tentu saja ini adalah interpretasi pribadi Ghiovani tanpa sumber yang jelas. Soalnya kedua tambo sama sekali tidak menyebut Gunung Berapi. Apalagi dia mengatakan 'menghilir' menuju Kerinci, kira-kira sungai manakah yang bermuara ke wilayah Gunung Berapi (Gunung Kerinci)?
Sangat berbeda dengan kasus di wilayah Kerinci, pegangan atau wilayah kekuasaan Depatinya dilegitimasi oleh Raja/Sultan yang berkuasa. Naskah Piagam TK 173 misalnya disahkan oleh Sultan Anum Suria Ingalaga yang bertahta tahun 1742-1776 M di Kesultanan Jambi. Naskah piagam tidaklah sama dengan tembo yang kadangkala ditulis ulang atau hanya bersumber dari tutur lisan.Â
Naskah piagam dapat dikatakan konteks isinya memiliki banyak kesamaan dengan prasasti-prasasti dari kerajaan masa Hindu-Budha, bedanya terletak pada kronologi, aksara dan media tulisnya saja. Kebanyakan prasasti ditulis pada batu ataupun lempengan logam  menggunakan aksara pallawa dan turunannya, sementara naskah piagam ditulis pada kertas menggunakan aksara arab melayu. Naskah piagam menyebutkan pertanggalan dikeluarkannya naskah tersebut, memuat gelar pejabat yang mengeluarkan, gelar pejabat yang menerima surat disertai dengan stempel raja/Sultan yang berkuasa.Â