Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Relevansi Pendekatan Etnografi untuk Kajian Arkeologi di Era Postmodernisme

23 Januari 2018   12:12 Diperbarui: 23 Januari 2018   23:09 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arkeolog melihat Mata panah yang dibuat oleh salah satu etnik di Afrika.Sumber: https://www.writeopinions.com/ethnoarchaeology

Sengaja kali ini saya menyajikan artikel yang sangat teoritis, meskipun agak sulit untuk dipahami oleh pembaca awam tetapi saya berharap dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang mendalami kajian2 humaniora. Tulisan ini merupakan essai dari tugas perkuliahan saya di waktu yang lalu.

*****

Kemunculan post-modernisme tidak terlepas dari kritik terhadap paham-paham yang telah berkembang sebelumnya. seperti strukturalisme yang terlalu menggunakan cara berpikir dikotomis dan normatif, serta positivisme yang mengganggap adanya kebenaran tunggal, generalisasi dan lain sebagainya.

Postmodernisme menolak cara berpikir kaum strukturalis maupun positivis itu, menurut postmodernisme tidak ada kebenaran mutlak, bahwa kita tidak dapat megeneralisir sesuatu hal karena sifatnya yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu (Hodder,1989 :64-68).

Tentu saja 'dunia' arkeologi sebagai salah satu disiplin ilmu tidak bisa terlepas dari dampak perkembangan postmodernisme. Di satu sisi, munculnya post-modernisme telah membuka peluang bagi berbagai pendekatan untuk digunakan dalam memecahkan masalah arkeologi, membuka ruang multitafsir dan mendukung sifat relativistik, namun di sisi lain mengharuskan arkeologi 'meng-evaluasi diri' terkait dengan pendekatan-pendekatan yang telah digunakan dalam kajiannya selama ini. Di antara pendekatan itu adalah pendekatan etnoarkeologi yang pada mulanya muncul seiring dengan perkembangan paham prosesual.

Gould (1978: 10) mendefinisikan etnoarkeologi sebagai "an empirical approach designed to discover the totality of variables that determine human behavior in particular situations and to posit general principles indicating how these variables consistently interact". Etno-arkeologi pada dasarnya menggunakan prinsip analogi untuk mengetahui prilaku budaya (sosial maupun religi) di masa lampau. 

Misalnya, untuk mengetahui fungsi alat batu dari sebuah temuan arkeologis, dilakukanlah studi terhadap suatu etnis yang masih menggunakan alat batu serupa dalam keseharian mereka, dengan analogi bahwa fungsi alat batu pada etnis tertentu yang ada sekarang sama dengan fungsi alat batu temuan arkeologis.

Namun dalam penerapannya, seringkali prinsip analogi yang dipakai dalam etnoarkeologi tidak sejalan dengan pandangan post-modernisme, hal ini mungkin karena 'pengguna' etnoarkeologi sendiri masih dikungkungi paham positivistik dan generalis. Oleh karenanya, agar etnoarkeologi masih bisa diterapkan dalam era postmodernisme ini perlu adanya 'batasan' analogi yang digunakan.

Sebuah kritik dan saran terhadap penerapan atnoarkeologi dewasa ini disampaikan oleh Paul Roscoe (2009) dalam artikelnya yang berjudul On the 'Pacification' of the European Neolithic: ethnographic analogy and the neglect of history. Dalam artikelnya itu, Roscoe memuat kritik yang disampaikan oleh Matthew Spriggs terkait dengan bagaimana para etnografer menggunakan analogi masyarakat Pasifik di Papua New Guinea untuk merekonstruksi keadaan masyarakat Eropa di masa Neolitik (Roscoe, 2009: 578). 

Tentu saja analogi tersebut dianggap keliru oleh Spriggs karena para etnografer mengabaikan fakta bahwa masyarakat Papua New Guinea juga telah mengalami perubahan budaya ketika era Kolonialisme seperti perubahan pola perkawinan di wilayah Umeda dan kerusakan demografi (Roscoe, 2009: 579-582).

Namun, Roscoe berpendapat bahwa analogi itu masih dapat diterapkan dalam arkeologi sepanjang arkeolog menggunakan analogi dengan hati-hati dan mampu membangun sebuah 'jembatan' untuk membuat analogi yang diterapkannya itu menjadi lebih kuat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun