Yerusalem, nama sebuah negeri yang kondisinya bertolak dari makna namanya yakni "kota atau hunian damai". Nyata-nyatanya kedamaian di negeri itu tidak pernah wujud, atau mungkin kalimat tepatnya periode "damai" jauh lebih singkat dibandingkan dengan periode "konflik" sepanjang sejarahnya. Menurut Wikipedia, ada sekitar 44 kali penaklukan/penguasaan terhadap negeri ini, bahkan upaya penguasaan tersebut masih berlangsung hingga kini, di mana agresor sejatinya adalah Amerika Serikat dengan topeng "Negara Israel" bentukannya.
Memang nama Yerusalem lebih masyhur di telinga masyarakat dunia, dibandingkan dengan nama "Al-Quds", sebuah nama  yang digunakan oleh umat Islam untuk menyebut Yerusalem. Bila Yerusalem diartikan sebagai "kota damai", maka "Al-Quds"  diartikan sebagai "yang suci" atau "tempat suci". Kesucian kota ini, tidak hanya bagi Umat Islam saja, tetapi juga bagi penganut Kristen dan Yahudi. Orang Yahudi percaya bahwa Yerusalem tempat berdirinya Kuil Solomon, seorang Raja besar bagi bangsa Yahudi.
Sementara bagi orang Kristen, Yerusalem menjadi saksi bisu dari penyaliban Yesus Kristus, dan bagi umat Islam, Yerusalem atau Alquds  merupakan kiblat pertama, sekaligus tempat yang disinggahi Muhammad dalam perjalanan sucinya yang disebut Isra' wal Mi'raj. Sayangnya, kesucian kota inipun sudah sejak lama ternodai dengan darah dan air mata manusia yang terkorban selama peperangan dan konflik para penguasa jahat yang bersyahwat memilikinya.Â
Namun perlu dicatat bahwa dalam sejarahnya, ada beberapa penguasa yang berusaha mengembalikan kesucian dan kedamaian di kota ini pasca kekuasan Raja Daud dan Sulaiman (Solomon). Pertama adalah Umar bin Khatab, orang Arab dari Suku Quraisy, khalifah ke 2 pasca kematian Muhammad. Setelah menaklukan penjajah Yerusalem saat itu yakni Kerajaan Romawi, Umar bin Khatab berusaha membangun harmoni kehidupan beragama di sana antar orang2 Yahudi, Kristen dan Orang Islam yang mulai berdatangan ke sana.
 Kedua, Shalahuddin Al-Ayubi, orang Kurdi pendiri Dinasti Ayubiyah. Tidak semua penguasa Islam berlaku adil terhadap pemeluk agama lain di Yerusalem, apalagi selama terjadinya konflik sektarian Sunni dan Syiah Kerajaan-Kerajaan Islam di sana seperti antara Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Saljuk, seringkali umat-umat Yahudi dan Kristen ikut terkorban dalam konflik ini, konflik diperparah dengan kehadiran pihak ketiga yakni Pasukan Salib dari Eropa, yang membunuhi orang2 Islam di Yerusalem selama penaklukannya. Namun, ketika Salahuddin Al-Ayubi memimpin penaklukan Yerusalem, penduduk-penduduk sipil dari berbagai agama yang berlindung di balik tembok Yerusalem dilindunginya, dan menjamin keamanan bagi mereka.
Ketiga, penguasa Turki Usmani sejak dari Sulaiman yang Agung dan penerusnya. Selama lebih kurang 400 tahun penguasaannya di kota ini, Dinasti Usmaniyah membangun kehidupan harmoni antar agama, mereka membangun benteng/tembok mengelilingi Yerusalem dalam upaya melindunginya, bahkan mulanya mereka mengizinkan para pemukim yahudi dari berbagai tempat di dunia untuk bermukim di Yerusalem sebelumnya tercetusnya ide Zionisme.
Saya mau menekankan, bahwa terciptanya kedamaian tergantung dari manusianya. Manusia lah yang menciptakan damai dan mereka pula yang menciptakan konflik. Selama kepemimpinan mayoritas manusia dipegang oleh orang jahat dengan syahwat berkuasanya yang tinggi maka kedamaian mungkin tidak akan terwujud di Yerusalem, sebaliknya bila kepemimpinan itu dikendalikan oleh orang2 baik, yang mementingkan nilai kemanusiaan, maka konflik sepatutnya bisa dihindari dalam upaya membangun kedamaian kembali di sana. Maka dari itu, ketika seorang jahat berkuasa maka kesalahan berada pada orang yang memilih dan menyokongnya, bukan tidak mungkin mereka memiliki nafsu syahwat berkuasa yang sama tingginya.
Bagaimana dengan Trump? Di saat konflik masih berlangsung di Palestina, secara sepihak dia mengakui Yerusalem sebagai ibukota bagi Negara Israel, padahal di sisi lain, Yerusalem/Alquds juga diakui sebagai ibukota bagi Palestina. Sudah jelas Trump merupakan penguasa lalim yang lebih mementingkan hasrat semata dari rasa kemanusiaan, alih-alih membangun kehidupan kedamaian, dia menjadi penuang bensin di tengah api yang sedang berkobar di kota damai lagi suci itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H