Beberapa tahun belakangan sangat banyak media-media online yang mengangkat topik yang satu ini yakni terkait dengan anggapan bahwa Suku Kerinci merupakan salah satu suku Tertua di dunia, bahkan dikatakan lebih tua dari suku bangsa Inka. Benar atau tidaknya pendapat/pernyataan ini haruslah didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang valid terutama bukti arkeologis melalui tinggalan-tinggalan budaya bendawi yang ditemukan di wilayah Kerinci. Sebab jikalau tidak didukung oleh bukti ilmiah, maka sama saja pendapat tersebut hanyalah opini belaka, dan berita-berita yang tersebar tentang hal ini hanyalah sebuah hoax terbesar dan bahkan dapat mengaburkan sejarah kebudayaan manusia, terutama sejarah kebudayaan manusia Kerinci.
Ada baiknya saya memulai tulisan ini, dari pendapat ahli terkait dengan pengertian 'suku' atau lebih tepatnya 'etnis' ini. Menurut F. Barth (1988) istilah etnis merujuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, kepercayaan, asal-usul, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Dalam kamus antropologi disebutkan bahwa etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial (wilayah) yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu kelompok etnis (suku bangsa) mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) memiliki wilayah sendiri, (2) mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada, (3) adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi, (4) mempunyai seni sendiri, (4) seni dan teknologi arsitektur dan penataan permukiman, (5) sistem filsafat, dan (6) mempunyai sistem religi/kepercayaan.
Sebagai sebuah etnis, tentulah suku Kerinci memenuhi persyaratan-persyaratan sehingga para ahli menggolongkan sebagai kelompok etnik tersendiri. Suku Kerinci umumnya mendiami wilayah Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, dan sebagian wilayah Merangin di Dataran Tinggi Jambi saat ini. Dilihat dari fisiknya secara biologis orang Kerinci tergolong ke dalam ras Mongoloid, rumpun proto-malayan sedangkan dari sisi linguistik merupakan penutur bahasa Austronesia (lihat. Watson, 1992; Aziz, 2010). Namun, untuk mengetahui variabel 'tua' sebagaimana dalam judul artikel di atas mestilah dilacak dari hasil pertanggalan terutama dari tinggalan-tinggalan arkeologi (tinggalan berupa benda-benda kuno) yang dihasilkan oleh etnis ini.Â
Bila kita menelaah artikel yang berbicara tentang ketuaan suku Kerinci, mereka merujuk pada hasil penelitian arkeologi  Bennet Bronson dan Teguh Asmar di Gua Tianko Panjang, Kerinci pada tahun 1970-an. Memang benar, penelitian yang dilakukan oleh ke dua ahli di gua tersebut berhasil menemukan alat batu terutama alat serpih dari obsidian serta sisa-sisa tulang hewan, hasil pertanggalan menunjukkan bahwa temuan alat-alat tersebut telah berusia sekitar 10250 tahun yang lalu, hal ini menunjukkan bahwa manusia telah menghuni gua tersebut  sekitar 10250 tahun yang lalu. Namun permasalahannya adalah apakah manusia yang menghuni gua tersebut merupakan leluhur suku Kerinci saat ini?
Jawabannya tentu saja tidak, sebenarnya Bronson dan Asmar telah menyebutkan bahwa tinggalan tersebut berasal dari periode mesolitik, di mana manusia saat itu masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan dan belum mengenal cara bercocok tanam, Walaupun rangka manusia tidak ditemukan di Gua Tiangko Panjang (yang sangat berguna untuk mengidentifikasi ras penghuni gua), namun dari perbandingan dengan temuan-temuan dari situs lain yang sezaman di Indonesia, maka dapatlah diketahui bahwa manusia penghuni gua Tiangko Panjang memiliki ras Austro-melanesoid dengan ciri fisik mirip dengan fisik orang Papua atau orang Aborigin Australia saat ini (Bellwood, 2000). Tentu saja sangat berbeda dengan fisik dan ras suku bangsa Kerinci. Dengan kata lain, manusia penghuni gua Tianko Panjang yang diteliti oleh Bronson dan Asmar tidak memiliki keterkaitan budaya dengan orang Kerinci saat ini.
Referensi Utama:
Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bronson, Bennet dan Asmar, Teguh, 1975. "Prehistoric Investigations at Tianko Panjang Cave, Sumatra: An Interim Report." Asian Perspectives XVIII, no. 2, hlm. 128-145.