"Maut adalah pintu masuk yang tiap insan lewati. Makam adalah rumah tempat setiap insan istirahat. Semoga makam ini dijadikan Allah salah satu rumpun bunga di surga dan memperkenankan Almarhum bermukim di Taman Terindah di Firdaus". (Nisan Minye Tujuh berbahasa Arab, Foto Cuillot dan Kallus, 2005).
Ya, begitulah bunyi sebuah prosa yang tertera di atas nisan seorang wanita, istri dari Sultan Aceh ini. Nisan sejatinya tidak hanya sebagai 'monument of dead', monumen untuk mengenang kematian seseorang, tetapi bagi para arkeolog dan sejarawan, nisan menyimpan sejuta misteri untuk diungkap.
Nisan menjadi salah satu objek penting dalam kajian arkeologi Islam, di mana dari tinggalan nisan ini arkeolog merekonstruksi awal masuknya Islam ke Indonesia, siapa dan darimana para penyebar Islam, dan bagaimana kontak awal penduduk Nusantara dengan Islam. Salah satu nisan yang populer dan buku sejarah Indonesia adalah nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik dengan pertanggalan 7 Rajab 475 H (sekitar abad ke 11 M).Â
Nisan-nisan tua dengan bentuk, ornamen, dan tulisan yang cukup Indah banyak dijumpai di wilayah Aceh. Umumnya, nisan-nisan tersebut berasal dari masa Kesultanan Aceh sehingga seringpula disebut dengan batu Aceh. Keberadaan batu aceh ini sangat menarik karena beberapa tipe batu aceh juga dijumpai di Semananjung Malaysia, sehingga dapat dikatakan nisan menjadi komoditas pertukaran dan perdagangan bahkan merupakan barang ekspor yang dijual keluar wilayah Aceh.Â
Lebih dari itu, sebagaimana di awal tulisan ini, bahwa ternyata pada nisan tersebut juga tertera prosa-prosa indah nan penuh makna. Nisan pada gambar di atas misalnya dapat menggambarkan bagaimana konsepsi atau ideologi masyarakat pada zamannya dalam memandang sebuah kematian. Kematian bukan dianggap sebagai sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan melainkan sebuah jalan yang mesti dilewati setiap manusia untuk menuju ke tempat yang penuh kebahagiaan yakni Surga.Â
Sementara makam diumpamakan sebagai sebuah rumah tempat manusia beristirahat dari segala aktivitas duniawinya, makam menjadi tempat istirahat abadi badaniah manusia, serta tempat istirahat ruhaniyah manusia sebelum menuju tahap/proses selanjutnya untuk menerima balasan atas perbuatannya ketika hidup di dunia. Deskripsi tentang kematian dalam nisan ini, sungguh sangat filosofis sekali.Â
Untuk itu, ketika membaca sebuah artikel di media sosial tentang penghancuran nisan/makam demi proyek pembangunan limbah di Aceh, membuat saya sangat 'berhiba hati' karena kita sebagai manusia zaman modern ini telah kehilangan rasa penghormatan terhadap mereka yang tengah beristirahat di dalam rumahnya itu. Jasad mereka boleh saja telah musnah, tetapi ingatan tentang mereka tetap ada karena itulah alasan mengapa nisan didirikan.Â
Akhirul kalam, kita pada akhirnya juga akan beristirahat dalam sebuah makam, dan nisan akan didirikandi atasnya sebagai tanda bahwa kita pernah mencicipi rasa hidup di dunia. Untuk itu, agar kita terus dikenang nantinya, mari kita perlakukan mereka, nisan-nisan itu selayaknya nisan kita, nisan tua sebuah cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang keberadaannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H