Di Surabaya, sering kali dikatakan oleh orang Surabaya asli bahwa kata ndek mana adalah indikator bahwa penutur kata tersebut adalah penutur Tionghoa-Surabaya. Sering saya dapati dari twitter, kata orang-orang sekitar, dan paling sering dari tante saya,  bahwa ndek mana itu adalah bahasanya orang Tionghoa-Surabaya.
Sebelum mebahas tentang alasan saya menyerap kata ndek mana, saya akan menjelaskan apa itu ndek mana terlebih dahulu. Ndek mana adalah kata campuran Jawa-Indonesia yang mana kata ndek berasal dari bahasa jawa yang berarti 'di' dan kata 'mana' yang berarti 'mana' dalam bahasa Indonesia. Kata ini adalah salah satu contoh pengaruh Jawanisme yang terjadi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Â
Menurut Wikipedia, Jawanisme adalah fenomena campur kode(code switching) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada saat terjadi jawanisme dalam bahasa Indonesia, sering terjadi perubahan sintaksis dan kosakata yang mana biasanya adalah penggunaan kata dasar dalam bahasa Indonesia yang dicampur dengan imbuhan dari bahasa Jawa. Contohnya, ialah pada kalimat "Jo, siniyo tak kasih permen". Dalam kalimat tersebut, kata 'sini' dan 'kasih' menunjukkan bahwa kata tersebut adalah kata berbahasa Indonesia dan imbuhan yo dan tak menunjukkan bahwa imbuhan tersebut berasal dari bahasa Jawa. Selain itu, diterangkan pulalah oleh Wikipedia bahwa jarang sekali orang Jawa mengalami Jawanisme saat berbicara dan ironisnya malah orang Tionghoa-Jawa yang sering mengalaminya.
Nah, sekarang saya akan membahas tentang stereotip yang semi-semi asli ini. Jadi, memang benar kalau orang Tionghoa, baik asli maupun ampyang(Tionghoa campuran atau panthongpan kalau dalam bahasa Tiochiu), sering mengalami Jawanisme. Hal ini tentunya berasal dari pengalaman saya mengamati dan ribuan pengamat lainnya. Namun, hal itu tentunya tidak dialami oleh orang Tionghoa saja, tetapi juga orang Jawa. Walapun, memang berbeda Jawanismenya orang Jawa dan Tionghoa secara umum. Namun, kata ndek mana" bukanlah perbedaan yang menunjukkan Tionghoa atau Jawa. Namun, kata-kata seperti "liaken", "da mana", dan "ndak isa" lah yang cukup akurat.Â
Jadi, kesimpulannya ialah saya mengambil bahasa "Tionghoa Surabaya" tersebut karena itu bukan khas orang Tionghoa Surabaya, namun bahasa  hampir seluruh orang Surabaya. Masiyo gitu,  saya sering dikira Tionghoa hanya karena mengucapkan kata kata tersebut.
Referensi :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jawanisme
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H