Sebelum membahas inti, marilah membaca pengetahuan tenrang bahasa Indonesia dulu, ya agar tidak membenci karena setwlah itu ada sebuah "pertanyaan" untuk badan bahasa. Dan saya sama sekali tidak membenci badan bahasa.
Bahasa Indonesia adalah bahasa bahasa resmi yang digunakan di Indonesia dan digunakan di beberapa nagara lainnya seperti Timor Leste, Malaysia, dan Belanda. Bahasa ini berasal dari rumpun Austronesia dan dituturkan oleh lebih dari 200 juta orang di Indonesia dan dimanapun berada walaupun umurnya masih kurang dari 100 tahun.Â
Bahasa ini memiliki beberapa keunikan seperti  yakni mampu membantu menjaga persatuan bangsa yang sangat besar dan telah mencegah perang saudara secara luas. Lalu, bahasa ini juga telah menjadi sebuah elemen penanda bangsa yakni bangsa Indonesia. Seseorang tidaklah cukup untuk menjadi bangsa Indonesia kecuali dengan fasih berbahasa Indonesia.
 Bahasa ini memiliki tata bahasa dan pengucapan dan pengucapan yang cukup mudah. Tidak ada nada(tone), homofon yang tidak terlalu mengganggu seperti dalam bahasa Mandarin, tidak adanya konsonan atau vokal yang sulit diucapkan membuat bahasa dianggap. Menurut beberapa sumber, bahasa Indonesia mudah dipelajari dalam beberapa minggu menurut sebuah  sumber walau sangat sulit untuk menguasainya menurut sumber lainnya.
Diantara kemudahan diatas ada satu lagi yaitu kekonsistenan, secara umum, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat konsisten. Konsistensi dalam bahasa Indonesia ini sangat tegas. Ketegasan ini adalah kebanggan tentunya bagi bangsa Indonesia. Namun, apakah puluhan juta Indonesia akan menyukai kekonsistenan yang membuat kata terdengar janggal yakni seperti kata "memesona"
menurut KBBI, "memesona" berasal dari kata "pesona" yang berarti  1 guna-guna; jampi; mantra (sihir) 2 daya tarik; daya pikat, sedangkan me*me*so*na v sangat menarik perhatian; mengagumkan.
Sejujurnya, kata ini adalah kata yang sangat aneh bagi saya, salah satu penutur L1, dan saya yakin bagi jutaan atau puluhan L1 lainnya mungkin ratusan juta penutur L1 dan L2 juga akan merasa aneh saat mendengar kata ini. Terdengar sangat tidak biasa dan seperti dipaksaka, apalagi setelah menerima alasannya yakni "peluruhan".
 Dari para pendukung(dan juga penetap, mereka disebut pendukung karena pasti mereka mendukungnya karena suatu alasan walau alasan tersebut ditentang khalayak. Penetap ejaan tersebut, tentunya badan Bahasa,  telah menetapkan kata tersebut dalam KBBI. Menurut mereka, kata tersebut dimasukkan ke entri KBBI karena "hukum peluruhan".Â
Namun, tetap saja terasa aneh bagi saya, kenapa harus masuk hukum peluruhan kalau hasiknya malah seperti itu? alasannya masih masuk akal kalau itu sudah ada sejak zaman kuna. Namun, saya tidak pernah menjumpai satu artikelpun yang menjelaskan kata itu(memesona) berasal dari zaman kuna. Saya pikir, itu baru-baru saja, walaupun saya berharap kata itu ada dalam zaman kuna walaupun pada kenyataannya, bahasa Indonesia baku di masa lalu jauh lebih tidak "riweuh" ketimbang sekarang.Â
Yang membuat lebih bergidik lagi, Â kata "mempunyai" malah "selamat" dari "peluruhan" tersebut. Saya tentunya bersyukur karena sempat guru SMP saya menyalahkan kata "mempunyai" saat tes bahasa Indonesia(tesnya kira-kira waktu try out menjelang UN). Tanpa bermaksud menghilangkan kehormatan atau menjatuhkan satu derajat pun dari beliau, Beliau berkata yang benar ialah "memunyai" asalah yang benar menurut kata yang uaneh polll(ucapkan dengan aksen Surabaya). Karena kata ini tidak pernah satu orang pun mengatakan ini di depan samping belakang atau dari arah manapun yang bisa saya dengar.
Coba pikirkan, kira-kira bangsa negara maju seperti Jepang, Jerman, Cungkuok(Tiongkok), India(sudah maju teknologinya), Prancis, dan tentunya Inggris dan Amerika yang bahasanya sangat tidak konsisten. Bangsa-bangsa mereka meridhoi(walau tidak semua) tentang ketidakkonsistenan yang ada dalam bahasa mereka baik dari pengucapan, cara baca, dll.Â