Baru-baru ini, dunia politik Indonesia diguncangkan dengan bergabungnya partai-partai oposisi menuju sisi pemerintahan. Partai-partai seperti PKS, PKB, dan juga Nasdem, tergabung kedalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang sekarang berganti nama menjadi KIM-Plus. Dikabarkan juga bahwasannya koalisi ini tergabung dalam kontestasi Pilkada 2024 yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
      Sebelum kita mengkaji lebih lanjut mengenai KIM-Plus tersebut, mari kita telaah lebih dahulu mengenai pengertian singkat dari terbentuknya sebuah koalisi partai, dan tujuan utama dari terbentuknya koalisi tersebut. Menurut KBBI, istilah "koalisi" merujuk pada kata "kerja sama", atau lebih tepatnya "kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen". Dari KBBI sendiri, arti kata dari koalisi langsung merujuk pada kegiatan berpolitik. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa koalisi partai merupakan bentuk kerja sama antara partai-partai yang ada di Indonesia untuk mendominasi suara didalam parlemen.
      Koalisi Indonesia Maju ini, awalnya terdiri dari gabungan 9 partai yang ada di-Indonesia, yaitu Gerindra; Golkar; Demokrat; PAN; PSI; PBB; Gelora; Garuda; dan Prima. Koalisi ini memiliki tujuan awal untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 lalu. Pasca-pilpres, mereka menambah anggota koalisi mereka dengan partai oposisi, seperti PKS, PKB, PPP, Perindo, dan juga Nasdem. Partai-partai tersebut merupakan oposisi dari koalisi KIM, yang akhirnya tergabung kedalam koalisi baru yang dinamakan KIM-Plus.
      Lalu, mengapa KIM-Plus ini menjadi hal yang besar? Mengapa koalisi partai yang terbentuk tersebut justru menjadi sebuah ancaman bagi demokrasi di Indonesia? Hal ini berkaitan dengan peraturan Threshold dalam pencalonan wakil daerah. Dilihat dari Pasal 40 (1) UU No. 1 Tahun 2015, dikatakan bahwa "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD, atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD daerah yang bersangkutan". Ya, paling sedikit 20% kursi yang ada di DPRD. Threshold ini mudah dipenuhi bagi partai-partai besar, sedangkan dalam kasus ini, seluruh partai besar yang ada sudah tergabung kedalam koalisi yang sama. Lalu bagaimana jika seluruh partai tergabung dalam sebuah koalisi yang sama? Terjadinya kotak kosong, dimana calon yang tersedia oleh rakyat hanya berasal dari 1 calon saja, tanpa adanya oposisi yang menandingi.
      Demi menghindari praktik sentralisasi kekuasaan tersebut, MK mengeluarkan beberapa putusan yang berusaha mengembalikan keadaan demokrasi yang semestinya. Putusan tersebut merupakan revisi UU Pilkada pasal 40, yaitu mengenai batas threshold minimal partai untuk mengajukan calon kepala daerah. MK merevisi threshold terebut yang awalnya sebesar 20% menjadi 8,5% - 6,5% suara sah, tergantung pada jumlah penduduk yang termuat pada DPT daerah tersebut. Serta, MK juga berputusan untuk menetapkan Batasan umur calon yang mengajukan diri, yang sudah diatur pada pasal 7 UU Pilkada. Putusan ini menjadi penyelamat demokrasi di-Indonesia, dan berusaha untuk tetap menegakkan pemilu yang jujur dan adil.
      Menariknya, putusan MK tersebut justru ditolak oleh putusan DPR dan Presiden, dan mengeluarkan putusan sendiri yang merevisi UU No.1 Tahun 2015, dengan memikirkan putusan MA, dan mengesampingkan putusan MK mengenai undang-undang tersebut. Putusan DPR tersebut dianggap seperti "mengakali" putusan yang sudah dikeluarkan, serta, putusan yang digagas tersebut masing-masing terkait tentang syarat usia pencalonan kepala daerah dan ambang batas partai politik untuk mencalnkan kepala daerah.
      Dalam hal ini, terlihat sekali bahwa pemerintah pusat, khususnya DPR dan Presiden, aktiv dalam melakukan cherry picking didalam constitutional order. Hal ini berhubungan dengan batasan umur pencalon yang ada di UU Pilkada yang direvisi, sehingga Kaesang, putra Presiden, dapat maju menjadi calon kepala daerah. Gerak-gerik yang dilakukan pemerintahan pusat terkesan kasar, dan mudah ditebak alurnya, yang ujung-ujungnya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan juga percobaan penerapan dinasti politik yang dibangun Presiden Jokowi dan keluarganya.
      Lalu apa yang bisa kita lakukan? Dimana wakil rakyat berpihak pada kekuasaan yang ingin mempertahankan kekuasaannya, dan partai-partai politik yang terbentuk untuk mewadahi aspirasi dan suara rakyat, malah terbelenggu dalam sebuah 'koalisi' yang bersifat mekekang. Dalam kondisi ini, hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperuas wawasan berpolitik kita dan bersuara. Kita, rakyat Indonesia, harus sadar akan manuver-manuver yang dilakukan oleh para penguasa yang ada, sehingga kita tidak mudah terjatuh pada jebakan-jebakan mereka. Serta, sudah sewajarnya juga kita untuk bersuara dengan lantang, sebagaimana yang sudah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 mengenai aspirasi rakyat.
      Demokrasi merupakan dasar hukum yang berlaku didalam negeri kita, dan sudah semestinya kita mempertahankan agar demokrasi itu tetap bertahan. Jika kita menyadari adanya bentuk-bentuk dari penyalagunaan kekuasaan, sudah sepatutnya kita sebagai rakyat mengkritisi dan menyuarakan hal tersebut. Oleh karena itu, jangan pernah lelah untuk bersuara atas nama demokrasi dan pemilihan umum yang adil dan jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H