pendidikan yaitu membaca, lalu dipahami, disimpulkan, kemudian dikritisi”
“Tahap terendah dariKira-kira begitulah kalimat yang saya dapat dari salah seorang dosen di kampus saya. Hari itu, kami berada di satu tim yang sama untuk kegiatan sosialisasi dan promosi kampus ke sekolah-sekolah di daerah. Di malam hari, di saat rekan lain sudah terlelap dan bermain gim, saya tak sengaja melihat beliau sedang duduk sendiri di beranda luar, ditemani laptop dan secangkir kopi cappuccino yang diseduh dari depan meja resepsionis. Karena penasaran dengan apa yang Beliau kerjakan, sengaja saya dekati. Alhamdulillah, respon beliau sangat baik, lantas mengajak saya duduk dan berdiskusi.
Malam itu, banyak hal menarik yang kami diskusikan. Mulai dari menulis jurnal, pilkada, ekonomi digital, kepemimpinan, hingga pendidikan. Ada banyak hal yang saya ajukan, dan banyak juga hal yang saya catat dari hasil diskusi bersama Beliau. Salah satunya yaitu mengenai pendidikan. Kami membahas sistem pendidikan di Indonesia, dan membandingkannya dengan sistem pendidikan luar negeri. Rasanya, kita sering kali berpikir dan ngebatin sendiri, bertanya-tanya alasan pendidikan kita kalah dari luar negeri.
Jawaban singkatnya, ada pada sistem dan mindset. Sebagus apa pun metodenya, secanggih apa pun sistemnya, kalau pola pikir/mindset-nya masih kuno, pendidikan kita tidak akan maju. Pun sama, sehebat apa pun pola pikirnya, kalau kita masih bertarung melawan sistem yang bobrok, jangan harap kita sejajar dengan negara-negara lain.
Beliau bercerita tentang ketidaksetujuannya terhadap dosen-dosen yang masih mempertahankan ‘cara-cara usang’, sehingga mahasiswa terhambat untuk berkembang. Dalam penulisan ilmiah seperti skripsi pun sama, yang seringkali menjadi objek dan terus menerus ditanyakan yaitu “apa teori awalnya, siapa tokohnya, bla bla bla”. Padahal, seharusnya yang ditanyakan yaitu kebaruan (novelty) dan juga hasil tulisan atau analisis mahasiswa yang merupakan pengembangan dari teori-teori yang sudah ada. Jadi, berorientasi ke depan, fokus pada karya yang dihasilkan mahasiswa, bukan terus menerus kembali ke belakang dan mementahkan temuan yang ada.
Permasalahan lainnya dari sistem pendidikan kita adalah, guru atau dosen seringkali memberi tugas tanpa mengevaluasi hasil pekerjaan murid atau mahasiswanya. Semata-mata untuk mengisi kekosongan agenda karena bertepatan dengan tanggal merah atau dosen yang bersangkutan tidak dapat hadir; atau sekadar mengejar target pertemuan yang banyak kosong. Kalau siklusnya terus menerus ‘diberi tugas – dikerjakan – dikumpulkan’ saja, maka mahasiswa hanya akan mengerjakannya sebagai penggugur kewajiban saja, tanpa peduli apa yang mereka tulis dan kerjakan. Kalaupun ditanya, hanya segelintir saja yang bisa menjawabnya, itu pun bermodalkan Chat GPT yang setia mendampingi.
Mahasiswa seharusnya dibekali kemampuan menulis, yang merupakan salah satu basic skill yang harus dimiliki mahasiswa, bukan hanya pandai berorasi saat unjuk rasa saja. Maka, menurut Beliau, tahapan terendah dari pendidikan yaitu membaca. Perihal membaca ini, sebenarnya telat kalau baru dimulai sejak bangku perkuliahan. Membaca ini harus dibiasakan semenjak SD dan berlanjut ke pendidikan menengah, sehingga di pendidikan tinggi, generasi penerus bangsa ini masuk ke jenjang ‘menganalisis’, bukan lagi di tahap pembiasaan membaca. Menurut Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-68 di dunia, dan indeks membaca masih kalah dibandingkan dengan indeks matematika dan sains.
Setelah membaca, tahapan selanjutnya yaitu memahami. Kebiasaan mahasiswa saat ini –terutama saat presentasi dan diskusi makalah di kelas- yaitu banyak bertanya, tanpa memahami apa yang mereka baca. Ketika ditanya esensi materi, jawabannya adalah “Tanya saja pemakalah”. Padahal, membaca itu tidak pernah terlepas dari memahami. Perihal ‘memahami’ ini bukan urusan sepele. Buktinya, karena salah paham, orang bisa saling ribut, saling berebut.
Setelah memahami, tahapan selanjutnya yaitu menyimpulkan. Kesimpulan ini bisa membantu orang lain dalam memahami tulisan yang kita baca, karena berisi ringkasan poin-poin penting dari suatu bacaan. Yang terakhir, setelah dibaca dengan saksama, dipahami dengan baik, lalu disimpulkan dengan rapi, langkah selanjutnya yaitu dikritisi. Di sinilah tempat teori-teori baru lahir. Di tahap inilah, ilmu pengetahuan berkembang. Yang pada awalnya hanya berjumlah satu teori, ia akan berkembang menjadi puluhan, bahkan ratusan teori.
Saya jadi teringat kisah salah satu dosen saya di kelas, Professor di bidang linguistik yang membuat bantahan atau antitesis dari tulisan yang dipublikasikan oleh gurunya –yang juga merupakan professor linguistik- sendiri. Toh, memang begitu, kan, sifat ilmu pengetahuan? Ilmu itu dinamis, akan ada kebaruan di setiap masa yang akan datang. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak akan pernah habis atau selesai untuk dikaji, karena pasti akan selalu ada tanggapan, bantahan, bahkan teori-teori baru dari kajian yang sudah ada.
Peneliti dan akademisi juga manusia, bisa salah juga. Maka dari itu, menganggap bahwa para peneliti dan akademisi tidak pernah salah, merupakan kesalahan besar. Di akhir pembicaraan kami, Beliau nyeletuk, “Ilmuwan boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Kalau politisi, tidak boleh salah, tapi boleh bohong”. Keheningan malam seketika berubah menjadi ramai karena riuh tawa kami, hahaha.