Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya, baru kemarin aku berulang tahun yang ketujuh. Kini, aku akan melewati "batas legal" kehidupan, sembilan belas tahun. Dahulu, aku selalu berharap untuk menjadi dewasa, agar aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan tanpa ada aturan. Dahulu, aku selalu berharap untuk menjadi dewasa, agar aku bisa membeli apa pun dan pergi kemanapun kumau tanpa ada larangan.
Dahulu, kalau ingin bermain hingga sore hari, aku harus meminta izin terlebih dahulu. Aku harus merayu ayah dan ibu agar dibukakan pintu, dan mengadu kepada nenek jika tak dibukakan pintu. Kini, keluar sampai malam pun, tidak ada yang mencariku. Dahulu, aku selalu meminta dibelikan mainan baru dan pergi bertamasya ke Uluwatu. Kini, aku bisa membeli apa pun yang kumau, dan pergi kemanapun tanpa mengenal waktu.
Dahulu, aku membayangkan betapa menyenangkannya jika suatu saat aku bisa hidup mandiri. Jauh dari rumah, tidak bertemu ibu-ibu komplek yang menyebalkan, dan terlepas dari omongan miring orang-orang tentangku. Sepertinya akan sangat menyenangkan. Ya, kebebasan memang menjanjikan kesenangan, tetapi sejatinya, di balik "kebebasan" itu ada satu hal yang tidak dapat kunafikan, yaitu "menjadi dewasa". Iya, menjadi dewasa seperti yang selama ini kuimpikan. Bebas melakukan apa saja, pergi kemana saja, dengan siapa saja, dan yang terpenting, terlepas dari kekangan dan aturan-aturan yang selama ini kujalani di rumah. Akan tetapi, sepertinya aku tak sepenuhnya benar. Menjadi dewasa ternyata butuh proses. Kebebasan yang selama ini kuimpikan, ternyata hanyalah kebebasan semu.
Duniaku telah berubah. Aku, yang tadinya selalu meminta uang kepada orang tua, kini sungkan dan malu meminta uang hanya untuk sekadar jajan/makan-makan. Uang yang dahulu bagiku tak begitu sulit mendapatkannya, kini terasa sangat sulit menjaganya. Terlebih lagi, jika sudah berada di penghujung bulan. Ampun, deh. Ternyata benar, kemampuan mengelola uang itu harus dipelajari dengan baik sedini mungkin.
Proses menjadi dewasa ternyata lebih melelahkan. Bukan hanya perkara keuangan saja, menjadi dewasa artinya melakukan sesuatu secara mandiri tanpa campur tangan orang tua. Mulai dari membuat SIM, mengurus dokumen dan surat-surat penting, bahkan hingga berurusan ke rektorat kampus perihal perkuliahan.
Menjadi dewasa juga berarti aku harus menyiapkan diri menghadapi kerasnya dunia. Mulai dari dunia perkuliahan, pertemanan, hingga urusan perasaan. Banyak hal-hal yang tak bisa kuhindari, tak juga bisa kuterima mentah-mentah. Jadi, hadapi saja. “Nikmati prosesnya”, kata orang-orang. Walaupun proses setiap orang berbeda-beda.
Sebagai penutup, aku berharap semoga proses warna-warni yang aku, kamu, dan kita jalani ini berbuah manis dan bahagia, dapat memberi makna dan pelajaran berharga untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih besar, yaitu berkeluarga. Untuk saat ini, aku fokuskan diriku untuk mencari ilmu dan pengalaman, bertualang mencari potongan-potongan rahmat dan karunia-Nya di bumi nan luas ini. Semoga, proses menjadi dewasa ini dapat menjadi pengalaman, dan memberi kesan terindah dalam hidup kita. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H