Postmodernisme merupakan cabang dari aliran ilmu yang berisikan pemikiran-pemikiran baru yang mengabaikan pemahaman modernisme. Postmodernisme menganggap bahwa zaman modern telah berakhir dan kita sekarang berada di era postmodern. Seorang filsuf fenomenologi dekonstruksi, Heidegger, menyatakan postmodernisme membawa peradaban ke arah pengetahuan dan kebenaran yang bersifat subyektif. Paham postmodernisme ini telah memengaruhi banyak hal dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang dapat dimaknai oleh masing-masing individu menjadi sebuah subyektivitas. Di sisi lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai 'yang nyata' oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subyektif yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (Berger,1990:29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari).Â
 Cara-cara manusia postmodern bertahan hidup dan gaya kehidupan mereka termasuk dalam subyektivitas dari pemaknaan realitas yang obyektif. Bagaimana dunia mengendalikan cara manusia hidup, yang pada titik ini tidak lepas dari teknologi dan digitalisasi, juga merupakan salah satu impersi budaya postmodernisme. Teknologi digital telah membawa budaya baru dalam kehidupan manusia. Munculnya dunia baru yang lahir dari teknologi digital, sebuah ruang baru yang diisi dengan berlalunya manusia yang terhubung satu sama lain. Di era ini, teknologi digital dipandang sebagai jembatan menuju budaya postmodernisme. Tidak hanya pada ketersediaan ruang online, keterjangkauan, ketersediaan, dan pengembangan lainnya. Teknologi ini memaksa masyarakat untuk beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya digital yang memungkinkan berbagai ruang dibangun di dunia maya. Interaksi antarmanusia tidak melalui tatap muka lagi. Kehadiran dan ruang, bukan lagi benda-benda yang berwujud material. Dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan postmodern yang tidak tersentuh oleh teknologi.
 Perkembangan teknologi semakin pesat terutama pada bidang informasi yakni melalui internet. Internet telah membawa manusia pada kehidupan yang serba praktis. Penyebaran informasi tidak lagi tersekat dan terhambat oleh letak geografis, tetapi sudah melalui transformasi yang sangat cepat. Selain itu, media sosial juga menjadi sarana yang sangat populer dalam kehidupan postmodern mulai untuk berkomunikasi, berpikir, berbagi cerita tentang keseharian, gaya hidup, serta mencari penghasilan. Selain menyebarkan infromasi, media sosial juga berperan untuk membentuk subyektivitas masyarakat. Menurut Subiyantoro (2014) seorang publik figur memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau menggiring persepsi di kalangan masyarakat. Seorang public figur atau selebriti biasanya merupakan seorang idola yang dikenal oleh masyarakat dan memiliki banyak pengikut, sehingga apa yang mereka katakan atau lakukan dapat mempengaruhi atau bahkan diikuti oleh para pengikutnya.Â
 Pada awal tahun 2023, sebuah kalimat childfree menjadi sangat ramai diperbincangkan di media sosial karena terdapat salah seorang influencer yang seolah menganakemaskan budaya tersebut. Childfree merupakan istilah untuk menyebut orang yang memilih untuk tidak memiliki keturunan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sebagai sebuah fenomena sosial dalam budaya postmodern ini, childfree tentu saja menyebabkan pro dan kontra. Beberapa orang menghormati pilihan tersebut tapi tidak munafik jika childfree juga berbenturan dengan berbagai norma. Munculnya komentar influencer terkait hal ini, jelas keluar dari pemikiran akal-sehat intersubyektif milik influencer tersebut. Komentar tersebut berujung pada kegaduhan di sosial media. Dikarenakan menabrak kebenaran obyektif yang dipercaya oleh masyarakat sebagai norma adat, budaya, dan utamanya agama.
 Norma agama ikut terseret dalam konflik yang mengatasnamakan childfree oleh seorang influencer tersebut. Sebab dalam pandangan agama islam, memiliki keturunan merupakan sebuah karunia Tuhan yang menjadikan keberkahan. Namun nahasnya, komentar tersebut menggiring perspektif masyarakat yang menampilkan anak sebagai beban kehidupan dan membatasi kebebasan. Kubu masyarakat terpecah menjadi dua; Pertama, masyarakat yang terbawa budaya postmodernisme mendukung pernyataan influencer tersebut dengan dalih semua orang berhak mempunyai prinsip hidupnya sendiri-sendiri. Namun, argumen tersebut disangkal oleh sebagian kalangan yang masih meyakini agama sebagai ketetapan obyektif yang memandang keturunan bukanlah hambatan bagi manusia untuk berkembang dan beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini terdapat satu hal yang penting dilakukan ialah perlunya moderasi bermasyarakat dan beragama.
 Peran generasi z dan milenial, atau yang biasa disatukan menjadi generasi zilenial, sangat diperlukan dalam hal ini. Generasi yang lahir pada kurun tahun 1981 hingga 2012 tersebut memiliki penguasaan dalam teknologi digital sehingga paham akan budaya postmodernisme yang membawa manusia pada kebenaran subyektifnya masing-masing. Termasuk dalam perihal ramainya childfree yang menyenggol norma agama islam. Dipahami juga bahwa tidak semua generasi milenial atau generasi z menitikberatkan pada norma agama, tapi di sisi lain ada kalangan 'paham agama', yakni para santri, yang mengkritisi konflik ini. Santri pun tidak sekonyong-konyong kontra pada budaya childfree. Namun dikarenakan santri masih berpegang teguh pada kebenaran obyektif dalam keyakinan agama islam, maka dari itu ada pengkritikan akan perspektif yang disampaikan oleh influencer tersebut.
 Santri berinisial IS berpendapat bahwa childfree bukanlah satu-satunya solusi untuk hidup damai dan tenang. Dan ia menyatakan ketidaksetujuannya mengenai penahbisan anak sebagai beban yang nanti akan menyulitkan kehidupan orang tuanya. Dalam ajaran pesantrennya, IS percaya bahwa memiliki keturunan adalah sebuah keberkahan yang mampu membawa kemaslahatan dalam kehidupan berumah tangga. Atau jika dalam proses kehidupan rumah tangga tersebut muncul suatu problematika yang timbul dari seorang anak, maka dalam islam hal tersebut disikapi sebagai ujian. IS juga menyatakan kontra terhadap pasangan suami istri yang menggunakan berbagai cara untuk mencegah adanya keturunan. Ia menambahkan bahwa lebih baik mempersiapkan diri dan pasangan dalam aspek mental, finansial, dan spiritual. Seperti belajar ilmu parenting, mendalami ilmu agama, fokus berkarier untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan jikalau dikaruniai keturunan di masa mendatang.
 Budaya postmodernisme memang membawa lebih banyak pro dan kontra daripada budaya sebelumnya. Manusia menjadi lebih bebas untuk menentukan prinsip hidupnya. Akan tetapi, dikarenakan kita hidup di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama. Tentu Indonesia memiliki norma budaya dan agama yang berlaku. Jadi, entah seseorang bersikap pro atau kontra terhadap childfree, hendaknya ia memiliki landasan dan pedoman yang menjadi prinsip pemikirannya tersebut. Tidak asal menggunakan pemikiran intersubyektifnya untuk bertindak.
Tarigan, D., Ihsani, S., Siallagan, L., Simanullang, R., & Lubis, F. (2023). Analisis Wacana pada Media Sosial Instagram "Childfree oleh Gitasav". IdeBahasa, 5(2), 241-251.
Hidayat, M. A. (2019). Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern: Sejarah, Pemikiran, Kritik Dan Masa Depan Postmodernisme. Journal of Urban Sociology, 2(1), 42-64.
Audinovic, V., & Nugroho, R. S. (2023). Persepsi Childfree di Kalangan Generasi Zilenial Jawa Timur. Jurnal Keluarga Berencana, 8(1), 1-11.