Fenomena yang sering terlihat di kehidupan manusia adalah terus berkembangnya segala bentuk tekhnologi yang semakin canggih. Semua itu dilakukan semata-mata hanya ingin memudahkan manusia dan membuat manusia tidak memiliki usaha lebih untuk mewujudkan segala apa yang ia inginkan. Perkembangan tekhnologi yang terjadi hampir dari berbagai macam aspek kehidupan manusia, bisa dari aspek sosial, pendidikan, perkembangan, otomotif, dsb. Salah satu yang terlihat jelas adalah berkembangnya tekhnologi informatika dalam bentuk handphone, laptop dan media komunikasi lainnya. Berbagai macam model dan tipe handphone/gadget yang menyajikan bermacam-macam aplikasi unutk menunjang seluruh kehidupan manusia. Semakin canggih fasilitas yang diberikan handphone itu, maka semakin besar pula pengeluaran yang harus diberikan untuk mendapatkannya.
Seiring dengan berjalannya kehidupan manusia yang terus berkembang, masih banyak terjadi penyalahgunaan tekhnologi di kalangan manusia. Mereka terkadang salah menempatkan fasilitas/ aplikasi-aplikasi yang diberikan oleh handphone/ gadget ke hal yang negatif. Kemudahan dalam penggunaan gadget ditunjang dengan adanya akses yang berhubungan dengan internet. Itulah yang menjadikan semakin meluasnya peran gadget di dalam seluruh aktifitas kehidupan manusia. Tidak terkecuali di dalam sebuah pendidikan.
Mengamati dari seluruh kejadian yang terjadi, masih banyak konsep pendidikan yang tak bisa melepaskan gadget untuk kelancaran pembelajarannya. Jaman sekarang, banyak perkuliahan ataupun proses pembelajaran yang tidak ragu untu kmenggunakan fasilitas gadget atau media sosial. Semua penggunanya berdalih untuk memudahkan dalam proses pembelajaran, bahwa sejatinya proses belajar itu tidak hanya dan tidak harus berada di dalam kelas. Melainkan dimanapun selama ada internet dan gadget yang memfasilitasinya. Seakan-akan itu telah menjadi kebudayaan yang sangat melekat di dunia pendidikan. Tetapi semua itu bisa diatasi apabila penggunaan gadget tersebut dapat dikontrol dengan baik dan penggunaan secara bijaksana dilakukan.
Manusia harus memiliki pendidikan yang sangat bagus dan bernilai positif agar mampu mengubah dunia ini dengan pikiran yang mereka miliki. Dengan pendidikan, manusia akan mampu mengetahui segala hal yang belum mereka ketahui dan hal-hal yang dapat membantu mereka mengubah dunia ini menjadi lebih baik. Akan tetapi terkadang pendidikan juga disalahgunakan oleh beberapa manusia yang mengutamakan keegoisannya dan individualismenya. Oleh karena itu pendidikan yang positif dan baik itu harus benar-benar ditanamkan sejak manusia itu masih dini dan belum banyak mengenal dunia luarnya. Apalagi di usia-usia emas (2-6 tahun)yang sangaat berharga untuk pembentukan kepribadian dan jati diri individu untuk menghadapi dunianya. Dengan kata lain peran yang paling organ adalah peran lingkungannya, untuk anak usia seperti itu lingkungan yang sangat berperan yaitu keluarganya. Dan peran orang tua di rumah sangat diperlukan untuk menjaga putra-putrinya bertindak negatif di kemudian hari.
Kenyataan yang ada mengungkapkan bahwa telah banyak orang tua tak segan memperlihatkan gadget di depan putra-putrinya yang masih berusia 3-6 tahun. Padahal diketahui bahwa yang terdapat dalam gadget itu berisikan pengetahuan orang-orang dewasa dan belum saatnya putra-putrinya mendapatkan informasi seperti itu. Selain itu, tak sedikit orang tua yang memberikan anaknya pendidikan (menulis, membaca, bermain) dengan menggunakan aplikasi dalam gadget. Sedikit orang tua yang langsung membrikan aplikasi pembelajaran langsung kepada anak-anaknya. Dan tugas orang tua hanyalah mengajari sang anak untuk mengoperasikan gadget itu sendiri. Kalau anak sudah mahir melakukannya, maka orang tua akan merasa tidak khawatir ketika akan meninggalkan anaknya sendirian karena sang anak telah memiliki teman bermainnya yaitu gadget. Dari sikap seperti itu malah akan memberikan anak sebuah pengetahuan yang imajinatif saja tanpa ada praktek/ aplikasi dari pengetahuan tersebut.
Melalui artikel yang singkat ini marilah kita bersama-sama mencoba mengetahui hal-hal apa saja yang telah membuat itu semua terjadi dan bagaimana solusi yang dapat diberikan kepada orang tua yang telah terlanjur menerapkan pendidikan seperti itu di rumah. Selain itu apa juga yang harus dilakukan para orang tua untuk menghindari dan mencegah konsep pendidikan itu ketika diterapkan di kawasan rumah.
Menindaklanjuti kasus-kasus pendidikan seperti itu, hal-hal yang perlu diperhatikan atas fenomena yang ada adalah konsep perkembangan pada anak-anak usia 2-6 tahun, atau disebut juga fase prasekolah/ usia taman kanak-kanak. Pada fase perkembangan ini, anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria dan wanita, dapat mengukur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya/ mencelakakan dirinya (Yusuf, Syamsu,. 2009 hlm.162-163).
Berhubungan dengan konsep pendidikan yang diperlukan pada fase prasekolah ini. Aspek perkembangan yang mendukung adalah perkembangan intelektual yang terjadi di dalam fase ini. Menurut Piaget (dalam Yusuf, Syamsu 2009), perkembangan kognitif yang terjadi berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Maksud dari operasi itu adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai oleh berkembangnya kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol (kata-kata, gesture/ bahasa gerak, gambar, isyarat, benda dan peristiwa).
Dari kemampuan yang telah dimiliki, anak-anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal. Dia dapat menggunakan kata-kata, peristiwa dan benda untuk melambangkan yang lainnya. Adapun kemampuan anak berimajinasi dengan menggunakan peristiwa adalah tampak dalam permainannya bermain peran, seperti sekolah-sekolahan, perang-perangan, masak-masakan, dan dagang-dagangan.
Dari perkembangan intelektual yang berlangsung pada anak usia ini, terdapat keterbatasan yang menandainya diantaranya yaitu egosentrisme; kaku dalam berfikir; semilogical reasoning. Egosentrisme yang dimaksud ialah menganggap lingkungan orang lain tidak sempurna dan cenderung mempresepsi, memahami, dan menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri. Kaku dalam berpikir (rigidity of thought) yaitu kecenderungan berpikir atas dasar satu dimensi, baik mengenai objek maupun peristiwa, dan tidak menolak dimensi-dimensi lainnya. Dekan kata lain hanya mengambil dan menggunakan 1 sumber saja tetapi juga tidak menyepelehkan sumber lain. Selanjutnya, keterbatasan yang terakhir ialah Semilogical Reasoning yaitu bahwa anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alam (fakta) yang mosterius yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari (Yusuf, Syamsu,. 2009 hlm.165-166).
Kesimpulannya bahwa pada fase prasekolah ini, kriteria anak-anak yang sangat nampak ialah sebagai berikut :
a)Mampu berpikir dengan menggunakan simbol (symbolic function)
b)Berpikirnya masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka meyakini apa yang dilihatnya, dan hanya berfokus pada satu atribut/ dimensi terhadap satu objek dalam waktu yang sama. Cara berfikir mereka bersifat memusat (centering).
c)Cara berpikirnya terfokus kepada keadaan awal atau akhir dari suatu transformasi, bukan kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai keadaan tersebut.
d)Anak sudah mengerti dasar-dasar menglompokkan sesuatu atau dasar dari satu dimensi, seperti kesamaan warna, bentuk dan ukuran.
Oleh karena itu, untuk menumbuhkembangkan pribadi anak yang baik sangat diperlukan pengarahan dari orang tua yang memahami dengan baik konsep perekembangan anak prasekolah. Sehingga kesalahan dalam memperlakukan anak pad aspek kognisinya, emosinya, intelektualnya, fisiknya dapat terminimalisir dengan baik. Begitu juga dengan bentuk pendidikan yang akan diberikan untuk menjadikannya makhluk yang sempurna.
Untuk menemukan jawaban tentang solusi dan tanggapan yang harus kita lakukan menghadapi permasalahan yang ada saat ini mengenai proses pendidikan yang dilakukan orang tua kepada putra-putinya masa prasekolah, maka dilakukanlah beberapa wawancara dan observasi kepada beberapa pihak yang terkait baik dalam bidang pendidikan ataupun dalam dunia perkembangan anak.
Berdasarkan beberapa wawancara dan observasi yang dilakukan muncullah berbagai macam jawaban yang terjadi di masyarakat.
Alasan orang tua mengenalkan gadget pada anak mereka pada usia 2-6 tahun.
Bahwa para orang tua menggunakan gadget untuk mendidik putra-putrinya dengan alasan agar sang buah hati tidak gaptek (ketinggalan zaman) mengingat telah berkembang berbagai macam tekhnologi yang semakin memudahkan aktifitas manusia. Dengan kata lain faktor yang mendorong orang tua sudah mengenalkan gadget pada putra-putrinya adalah karena tuntutan jaman yang semakin berkembang, alasannya segala hal apapun dapat diakses melalui gadget termasuk cara belajar yang efisien dan simple.
Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa itu terjadi karena faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Contoh sederhananya orang tua yang terbiasa berkumpul dengan orang yang menggunakan gadget otomatis akan tertular untuk mengikutinya. Jadi ketika putra/ putri dari teman sang orang tua sudah dikenalkan gadget, maka orang tua akan ikut mengenalkan gadget kepada anaknya dengan alasan agar tidak merasa malu di hadapan teman-temannya (orang tua).
Selain itu sebenarnya yang sangat mempengaruhi adalah kepribadian orang tua sendiri. Ketika orang tua terus mengikuti perkembangan gadget yang semakin canggih, otomatis secara tidak langsung mereka akan mengenalkan gadget kepada anaknya tanpa memperhatikan dampak pada anak. Orang tua yang sibuk kerja di luar, cenderung membekali anaknya dengan gadget agar dia merasa nyaman di rumah. Padahal hal itu sangatlah kurang baik dilakukan karena sejatinya anak usia tersebut sangat membutuhkan bersosial yang tinggi kepada orang lain.
Dengan kata lain pada kondisi keluarga yang demikian itu telah menjadikan gadget sebagai salah satu alat utama dan alat jitu orang tua untuk menggantikan peran orang tua selama tidak di rumah. Peran yang dimaksud disini yaitu seperti mengarahkan anak, mengontrol bermain anak, mengawasi aktifitas anak, mebantu belajar anak (membaca, menulis, menggambar). Kesemua peran itu telah dapat diambil alih oleh gadget dalam bentuk aplikasi-aplikasi didalamnya.
Alasan orang tua menggunaan gadget untuk mendidik anaknya di usia 2-6 tahun
Dari wawancara dan observasi yang dilakukan, didaptkan bahwa orang tua sengaja mengenalkan gadget kepada anaknya, terlebih untuk mendidiknya dalam kemampuan menulis, membaca, bermain, menggambar dsb. Sang orang tua tidak menginginkan anaknya untuk menambah ilmu di Paud dikarenakan lingkungannya yang kurang sesuai dengan keadaan pribadinya. Contohnya ada perkumpulan orang tua yang suka ngerumpi. Atau juga orang tua terlalu khawatir putra-putrinya tidak dihiraukan/ kurang diperhatikan oleh pihak pengajar paud.
Sehingga sang orang tua lebih memilih mendidik anaknya dirumah saja dengan aplikasi gadget. Mulai dari anak menggambar di Tab dengan menggunakan jari tangannya (tidak dengan pensil warna dsb.), anak menulis dan menghapus dengan hanya sentuhan jari tangan tanpa memegang alat tulis langsung, anak menambah kosakata hanya dalam bentuk gambar dan animasi tanpa melihat secara langsung. Sering orang tua langsung memberikan alternatif gadget ketika anak sedang menangis atau ingin bermain. Sehingga jadilah gadget sebagai salah satu alat untuk membantu berjalannya perkembangan tumbuh anak tanpa mengerti sesungguhnya dampak apa yang nanti akan dihasilkan kedepannya.
Solusi dari masalah pada proses pendidikan anak usia prasekolah
Berbagai solusi bisa diberikan berkenaan dengan masalah pendidikan anak prasekolah. Akan tetapi sebelum memberikan solusi pautlah menemukan sumber utama masalah itu terjadi. Dari beberapa yang diamati, terlihat masalah itu berasal dari lingkungan utama sang anak yaitu keluarganya. Minimnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan anak prasekolah menjadi pemicu utama masalah itu. Anak tidak dibekali pendidikan yang langsung tetapi hanya berupa imajinatif. Ketika proses pemberian pendidikannya memang tidak mengalami banyak masalah atau kendala, akan tetapi masalah yang akan muncul berada pada masa depannya. Anak akan bergantung selamanya dengan gadget untuk menyelesaikan seluruh masalahnya. Sehingga jiwa sosial yang terbangun dalam diri anak sangat rendah karena minimnya interaksi dengan oorang lain, setiap harinya mereka hanya berinteraksi dengan dunia imajinasi dalam gadget.
Solusi yang bisa dilakukan sangat beragam, tetapi semuanya akan kembali pada pihak yang menjalaninya. Yang dapat kami sarankan yang pertama adalah untuk merubah lingkungannya yaitu keluarga. Sebisa mungkin orang tua tidak memperlihatkan gadget secara berlebihan kepada anaknya, karena itu akan menumbuhkan rasa penasaran pada anak. Alangkah lebih baik jika mengoperasikan gadget ketika anak sedang istirahat, sebagai orang tua harus bisa memahami keadaan seperti itu. Yang kedua ialah dengan memberikan media langsung pada anak untuk bermain dan belajar seperti mainan, alat tulis, pensil warna, kanvas, buku cerita bergambar, dll. Jangan dibiasakan orang tua langsung menjadikan gadget sebagai alat utama untuk menghentikan tangisan anak. Karena bisa menjadikan anak bergantung pada gadget ketika dalam keadaan terdesak. Yang ketiga, adalah usaha yang juga tidak kalah penting adalah mencarikan anak teman sebayanya, selain untuk menumbuhkan jiwa sosial yang dimiliki anak, juga untuk mengenalkan anak lingkungan yang lainnya selain keluarganya. Agar anak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang mereka temui. Karena kedepannya nanti mereka akan bertemu dan memasuki berbagai jenis lingkungan yang belum mereka temui sebelumnya. Pemilihan teman sebaya sangat diperlukan, diusahakan agar sang anak bergaul dengan teman yang tidak memicu untuk penggunaan gadget pada sang anak. Ketika temannya juga tidak menyukai gadget, maka anak kita pun tidak akan tertarik dengan adanya gadget ataupun sebagainya.
Dari beberapa solusi yang diberikan tersebut kesemuanya dapat tidaknya dilakukan bergantung pada individu yang mendapatkan masalah tersebut. Dengan kata lain semua keputusan kembali pada individu itu sendiri, semuanya harus berdasarkan pada hati nurani dan tidak dapat dilakukan atas dasar paksaan untuk berubah menjadi keluarga yang lebih baik. Dan juga penentuan cara-cara pemberian solusi juga didasarkan pada kemampuan individu, pengalaman individu dan keikhlasan individu. Semoga sedikit ilmu ini memberikan manfaat kepada pihak yang membacanya.Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H