Setelah putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pemilihan Presiden, dilanjutkan dengan pengumuman kemenangan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), secara otomatis Prabowo Subianto--Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024--2029.
Kemenangan Prabowo Gibran diakui secara resmi, entah secara politik maupun hukum, meski tim hukum dari pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD masih menunggu keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pelanggaran hukum KPU dalam proses penyelenggaraan Pilpres 2024.
Terdapat satu pernyataan mengejutkan dari Prabowo setelah diresmikan oleh KPU, beliau merangkul semua pihak untuk bersama-sama membangun bangsa dan melupakan perbedaan. Satu pernyataan ini kerap diartikan dua makna sekaligus.
Pertama, meminta kepada pihak yang kalah untuk tidak mengganggu jalan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Kedua, meminta semua kekuatan partai untuk masuk guna membesarkan barisan koalisi pemerintahan.
Berbagai tuduhan publik ini muncul dikarenakan beberapa partai mulai menjalankan langkah politik secara konstan, mereka sungguhan tengah menimbang untung-rugi bergabung bersama koalisi pemerintahan.
Sekalipun, perpolitikan Indonesia tidak mengenal istilah oposisi secara tetap, tetapi setiap negara tetap membutuhkan peran oposisi guna menguji kebijakan atau menjaga keseimbangan dalam pemerintahan. Tujuan utama dari ini adalah untuk menghindari kelola negara secara "sembrono" dan "ugal-ugalan".
Wacana tentang keberadaan oposisi dalam perpolitikan domestik menjadi topik sangat menarik, semenjak dari lima tahun lalu tidak banyak oposisi tersisa.Â
Terlepas dari semua aspek, kemenangan pasangan Prabowo-Gibran terlihat sudah memberikan luka serius serta problematika sosial, politik, hukum yang perlu diperhatikan bukan cuma untuk pihak dikalahkan, tetapi juga kalangan pengamat keberlanjutan politik, demokrasi, serta hukum tata negara seperti Rocky Gerung.
Terlebih dari sudut pandang politik, pilpres beberapa saat lalu sangat riskan untuk dijadikan hafalan, yang kemudian akan diulangi untuk pemilu berikutnya. Tuduhan pemilu penuh kecurangan ini lalu dilindungi oleh keputusan MK, badan hukum tertinggi untuk melegalisasi hasil pemilu tersebut.Â
Oposisi merupakan keharusan diadakan, kekuatan politik penguji kebijakan, pekerjaan mereka tidak kalah mulia, ujar Rocky Gerung melalui Youtube resmi-nya.
Dengan kesadaran seperti Rocky, tak bisa dipungkiri mereka yang tidak puas akan mengambil posisi menetap, akan selalu bersikap mengkritisi, juga mengambil jalan perlawanan secara konstitusional guna membentuk kebijakan prima untuk semua.
Di samping itu, eksistensi oposisi bisa dikatakan memperkuat sistem demokrasi secara keseluruhan, mereka memainkan peran sebagai rekan sparing dengan pemerintah dalam membuat kebijakan guna membentuk, juga menjauhkan negara dari berbagai pelanggaran hukum, administrasi, dll.
Seperti kita semua tahu, perpolitikan Indonesia ini belum dewasa menyikapi oposisi. Mereka lebih sering "tergagap-gagap" mengatasi perbedaan pendapat, juga serangan dari pihak berseberangan.
Tergagap-gagap di sini bisa dikatakan setiap pemimpin, mulai dari sang Proklamator, hingga bapak Jokowi sekalipun, mereka kerap kali dinilai belum berhasil memberikan tempat memadai untuk kalangan oposisi. Mereka semua memilih jalan "merangkul".
Perbedaan Suara
Pemerintahan optimal akan selalu memberikan ruang bebas kepada oposisi, mereka membiarkan demokrasi berjalan lebih sehat melalui pembahasan topik yang selalu berkembang seiring pemerintahan berjalan.
Pihak oposisi mengkritisi kebijakan dari luar pemerintahan, sementara pemerintah memberikan perhatian, juga mengevaluasi setiap kebijakan diambil. Biarkan semua pandangan kritis atau bahkan negatif mengudara di publik, meski secara kasat mata tidak menguntungkan, tetapi pandangan ini sangat bernilai di mata publik.Â
Perlu menoleh kembali bahwa era reformasi ini muncul dikarenakan peran kuat oposisi, mereka tak kenal lelah mengontrol perilaku otoritarianisme, juga membongkar gurita korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada masa itu. Bahkan, di era terparah menurut kebanyakan sejarah, pemerintah masih memelihara oposisi.
Maka, bukan suatu kesalahan untuk mengatakan penghapusan oposisi lebih buruk dari Orde Baru, walau pernyataan ini tidak bisa selalu dibenarkan.
Oposisi merupakan cerminan terhadap rezim pemerintahan, mereka perlu  selalu bercermin guna tetap terlihat cantik. Mulai dari menata rambut kurang rapi, memberikan perpanjangan alis, atau memerahkan gincu yang memudar.
Dengan demikian, pemerintahan bisa terlaksana lebih sehat, seperti sebuah belati yang selalu diasah setiap hari untuk tetap tajam, belati ini akan menjadi kurang tajam ketika berhenti diasah lebih lanjut. Begitupun juga demokrasi, tidak ada keindahan demokrasi tanpa kebebasan bersuara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H