Bagaimanapun, untuk penganut nihilis, kehidupan merupakan tanpa arti. Semua emosi, entah baik dan buruk, secara keseluruhan tanpa arti. Banyak dari kita juga dihadang dengan perasaan tanpa tujuan, seolah kehidupan tanpa garis finis di ujung jalan, juga tanpa nilai.
Hal seperti ini normal ketika kita mulai menanyakan pertanyaan tentang kepercayaan lama, juga sebelum mendapatkan kepercayaan baru untuk dipegang. Biasanya, semua perasaan ini dimulai dengan satu pertanyaan simpel--Â "mengapa?"
Mengapa kita mulai memegang kepercayaan akan hal ini? Dari mana semua berasal? Atau justru dari siapa semua berasal? Terus bertanya hingga sudah tak ada lagi pertanyaan, dan tidak akan ke mana-mana, semua berakhir tanpa membawa apa pun--nothing.
Semua agama di seluruh dunia, semua penemuan ilmiah di luar sana, tetapi masih ada pertanyaan "kenapa" adalah sesuatu yang tetap tak bisa dijawab. Sebagai penganut nihilis, ini merupakan poin rangkuman bahwa tidak ada "kenapa", tidak ada juga jawaban, semua ini tak ada--baik tak memiliki arti atau memang tidak ada.
Dari sini kita memahami "nihilism" berasal dari kata Latin "nihil" yang bisa diterjemahkan sebagai kekosongan atau ketidakadaan, "ism" berarti ideologi. Bagaimanapun, pengertian sederhana ini tak berhenti di sana.
Nihilisme tidak mempercayai apa pun, tidak juga konsep akan kebaikan dan kejahatan di dunia. Semua ini cuma diciptakan oleh manusia, lalu dari sana tercipta "moral".
Satu lagi, Nihilisme ini berbeda dengan apatis. Orang apatis mungkin mempercayai sesuatu, tetapi memilih tidak peduli. Sedangkan, nihilisme merupakan ide di mana tidak ada ide atau tujuan, juga sesuatu dari sana, semua dianggap sebagai kekosongan.Â
Sebagian besar dari penganut Nihilisme mempercayai keberadaan agama, bangsa, atau bahkan moralitas merupakan sebuah halangan pemisah kebebasan. Kalau tidak bisa melakukan sesuatu yang kita suka, maka dari mana kebebasan yang nyata.
Namun di lain sisi, nihilisme boleh jadi suatu alat tercanggih menuju bencana terbesar. Seumpama, kita menengok kembali melalui sejarah manusia, cukup tak bisa dibantah kalau statement ini adalah kebenaran.
Semua tradisi lama, kepercayaan, institusi agama, atau bahkan sistem finansial runtuh dan kehampaan mulai merayap masuk ke dalam masyarakat. Dari sini kita bisa berpikir kalau tidak ada arti signifikan dari kehidupan, maka bagaimana harus menilai perbudakan, apartheid, dan perang nuklir antar negara.
Secara keseluruhan, kalau hidup memang tidak berarti, maka respons kita akan lebih baik untuk tetap memanfaatkan semua sebaik mungkin. Dibandingkan dengan melihat gelas sebagai setengah kosong, atau setengah penuh, akan jauh lebih baik untuk membuang ini semua dan meminum langsung dari kendi hingga puas.Â
Bagaimanapun, keberadaan kehidupan ini sendiri sudah cukup untuk menjadi alasan hidup.