Mohon tunggu...
Hafid syaifuddin Fatah
Hafid syaifuddin Fatah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Menulis, baca buku, diskusi dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menelisik Di Balik Puasa; Dalam Pandangan Filosofis Religius

5 April 2024   13:47 Diperbarui: 5 April 2024   14:03 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Ihram.RepublikaOnline

Terhitung sudah dua puluh lima hari kita berpuasa. Itu artinya kita sudah melewati perjalanan panjang dan hampir sampai finish. Lima hari lagi. Melihat Ramadhan seakan tengah melambai kepada kita dan mengeluarkan seruan "Ayo, puasanya yang semangat! Jangan sia-siakan Ramadhan kali ini. terlebih bagi para pendosa, coba dihindari dulu dong kebiasaan buruknya..." Suara ramadhan ini berkali-kali menyemangati kita. Menerobos masuk hendak berkomunikasi dengan diri untuk mengatakan bahwa begitu banyak rahmat dan berkah yang sebenarnya Tuhan turunkan di bulan ini. Hanya saja kita tidak terbiasa mendengarnya. Curigaku, jangan-jangan kita hanya enggan mendengarnya.

Apakah benar Ramadhan memanggil kita? Pendapatku benar. Hanya saja kita terlalu menutup hati sanubari kita untuk bercakap-cakap dengannya. Berbicara bersamanya. Membiarkan Ruh Muhammad yang ada pada diri kita kosong dari aktivitasnya. Konon, para faylasuf (ejaan Bahasa Arab untuk term filsuf) kita memperbincangkan keberadaan Ruh Muhammad itu di bagian terdalam dan tergelap tubuh ini. Ruh Muhammad itu memiliki potensi menjangkau segenap pengetahuan ilahi-rasional metafisik dengan dapat melihat hakikat segala pengetahuan (dengan menggunakan metode irfani/metode intuisi) yang olehnya tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan akali, atau pengetahuan inderawi. Pengetahuan hati (rasional metafisik) dengan menggunakan metode intuisi, derajatnya lebih tinggi dari pengetahuan akali, rasionalitas akal. Dan ini sempat dikatakan pula oleh filsuf Prancis abad 19, Henri  Bergson, bahwa intusisi adalah jenis akal yang lebih tinggi.

Dan pernah pula Nabi Muhammad memanjatkan doa kepada Allah swt. agar dibukakan untuknya hakikat segala pengetahuan dalam bunyi doanya yang masyhur: Allahumma arina haqa'iq al-asyya' kama hiya (Tuhan! Singkapkanlah padaku hakikat tertinggi segala sesuatu!". Keterangan ini semakin diperjelas oleh Iqbal dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam, yang sudah lebih dulu disempurnakan penyuntingannya oleh Musa Kazhim, terbitan Mizan Pustaka. Jika kita boleh jujur, sebenarnya (menurut Iqbal) pencarian landasan rasional dalam Islam terlebih dahulu dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri dengan doa yang dipanjatkannya tersebut. Dan sekaligus menjadi contoh bagaimana sang nabi juga berambisi pada pengetahuan atau ilmu pengetahuan (knowledge or sains). Sampai-sampai ia memohon kepada Allah untuk dibukakan (agar tersingkap) hijab yang menghalangi pandangannya (pengetahuannya).

Maka begitulah Allah memberikan contoh kepada kita bahwa Nabi yang setiap sholat kita panjatkan sholawat kepadanya adalah orang yang giat dalam mencari pengetauan, Meski beliau tidak tahu baca-tulis yang itupun bagi penulis bukanlah menjadi persoalan. Sebab, pengetahuan baca-tulis sebenarnya hanyalah sebuah jembatan, sebagai sarana, demi bisa diperolehnya pengetahuan objek di seberang sana. Mengetahui (pengetahuan) merupakan esensi, tujuan awal dari seorang pencari. Sedangkan membaca dan menulis hanyalah sebuah cara yang harus ditempuh. Kecerdasan-pemahaman adalah perangkat untuk membentuk pengertian dari hasil pembacaan untuk mengharap pengetahuan. Dan nabi Muhammad, sudah selesai dengan itu semua. Nabi Muhammad terlebih dahulu tahu, tanpa mencari tahu. Tanpa membaca. Sebab Allah telah menyingkan hijab dari pandanganya. Dan inilah yang membuatnya istimewa.

Jadi, sebenarnya apa sih sebenarnya kesimpulan yang dapat kita ambil di pembahasan ini, tentang suara Ramadhan dan pendengaran hati? Pemahaman apa yang akan kita dapat? Jika kita mau jujur, program ibadah tahunan yang dilakukan secara serentak ini (dan mendapat antusias kuat dari umat, dikarnakan besarnya motivasi yang diberikan atasnya; sebagaimana yang dapat kita perhatikan di luar sana tentang beragamnya model penyambutan bulan Ramadhan serta tata cara dalam menyukseskan penerapan ibadahnya) sebenarnya merupakan suatu latihan (riyadhoh) bagi kaum Muslim. Dengan ibadah program tahunan itu tuhan menghendaki hambanya untuk diajari menjadi manusia ideal (Insan Kamil). Pengajaran itu sifatnya wajib diikuti oleh seluruh Muslim dan ditempuh dalam masa tiga puluh hari masanya.

Selama pengajaran itu seorang Muslim dilingkupi oleh peraturan-peraturan yang menjaga, baik peraturan untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, seolah menjadi pagar yang pada intinya segenap aturan-aturan tersebut diorientasikan untuk mencetak karakter perseorangan menjadi Muslim sejati. Muslim yang berbudipekerti baik dan berilmu tinggi. Mengetaui hakikat sesuatu dengan sempurna; pandangannya filosofis. Karakter insan kamil. Yang lambat laun dari karakter itu akhirnya mampu melunak dan mentransformasi menjadi sifat baik di dalam diri. Sifat, sikap, dan pandangan seperti itulah yang diharapakan akan tercetak dari pribadi seorang Muslim. Karakterk kenabian, akhlak Muhammad. Sebagaimana visi dari ibadah itu sendiri yakni menjadikan manusia sebagai hamba yang sebenar-benarnya hamba. Memahami hakikat status hamba. Maka, misi kesadaran bertuhan senantiasa disematkan ke dalam setiap bentuk peribadatan.

Terlebih lagi dalam setiap konteks peribadatan yang pastinya selalu ada gagasan pertaubatan yang akan selalu ditekan (berasal dari kata ta-ba, yang memiliki arti lughowi: kembali). Taubat yang merupakan bentuk kata masdar dari akar term ta-ba yang memiliki arti kembali. Maksudnya adalah setelah Muslim itu mengerjakan tindakan-tindakan buruk atau maksiat maka ia diharapkan meminta ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Mengapa harus meminta ampun? Permohonan ampun tidak lain dan tidak bukan merupakan simbol untuk (menuju) penyucian kembali; kembali ke fitrah yang suci. Sebab pada dasarnya diri manusia itu baik. Di dalam diri manusia itu terdapat Ruh Muhammad yang senantiasa membimbingnya ke arah yang benar (bimbingan itu berupa suara hati; dan itu ada ketika hati kita benar-benar disucikan). Fitrah manusia adalah melaksanakan kebaikan-kebaikan. Seperti ungkapan filsuf Kristen klasik, sebenarnya asal diri kita adalah Kristus (pancaran dari ilahi; jiwa yang suci). Hanya saja terkadang manusia terhalang darinya disebabkan mengabaikan arahan dari suara Nur Muhammad sehingga berujung pada tindakan khilaf.

Lantas pada paragraf ini mari kita berhenti sejenak. Mari atur ulang pikiran kacau kita dan sedetik saja bertasbih kepadaNya. Maha suci Allah, Tuhan seluruh alam! Bagaimana kita bisa tidak membayangkan, betapa dalamnya kasih sayang Allah kepada hambaNya dan betapa besar rahmatNya sehingga menurunkan bulan Ramadhan ini. Bulan dimana Allah menyeru para hambaNya untuk melatih ketaqwaan. Melatih. Bayangkan, bagaimana Allah tidak malu atau gengsi memberikan kesempatan itu kepada kita selaku hamba? Jika boleh mengusulkan penambahan nama, seharusnya bulan Ramadhan ini adalah bulan yang penuh rasa malu. Malu kita yang besar kepada Allah sebab untuk melaksanakan tugas ibadah saja kita harus dibuatkan program tahunan yang terkoordinir secara massal. Masih belum bisa tersadar dari dalam diri masing-masing. Itu pun terkadang masih ada yang tidak mematuhinya. Kita mesti tidak habis pikir...

Maka bagaimana kemudian setelah mengetahui gagasan di balik puasa ini akhirnya kita harus menginsyafi kesalahan-kesalahan. Sadar bahwa seharusnya semangat peribadatan itu harus digelorakan dari dalam setiap diri. Tidak harus menunggu dikoordinir secara besar-besaran seperti ini. Tidak kuduh menunggu waktu satu tahun satu kali. Melainkan semangat dan kesadaran itu harus tetap kita hadirkan sepanjang waktu tanpa terpaut nama bulan dan senantiasa kita tingkatkan. Sebab, sejatinya kita (manusia) itu baik. Di dalam diri kita ini ada pancaran Allah (atau Ruh Muhammad dalam Bahasa lain; menurut keterangan ulama ahli kalam dan ahli tasawwuf kita) sebagaimana yang dijelaskan oleh filsuf kita, Alfarabi, saat beliau menjelaskan tentang teori emanasinya. Dan Maha Adil Allah Sang Pemilik Kebijaksanaan Tertinggi. Ia tidak membeda-bedakan hamba-hambanya selain dalam kadar ketaqwaan. Allahu a'lam bi al-showaf...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun