Ketika mendengar pertamakali kata "candi" yang pertama kali diingat adalah tempat ibadah untuk agama Hindu dan Buddha, atau tempat pemujaan terhadap para dewa. Semua memang benar. Candi sendiri mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain sebagai tempat ibadah, pusat pengajaran agama, penyimpanan abu jenazah tokoh kerajaan serta sebagai tempat pemujaan kepada sang Dewa. Secara umum fungsi candi adalah sebagai pusat kegiatan keagamaan Hindu dan Buddha, seperti layaknya masjid atau mushola sebagai pusat kegiatan keagamaan Islam. Di Indonesia candi sering dikaitkan dengan sejarah kerajaan Hindu dan Buddha. Kerajaan Hindu tertua di Indonesia adalah kerajaan Kutai yang berlokasi di daerah Muara Kaman, sekitar tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Namun peninggalan berupa candi belum ditemukan hingga sampai saat ini. Kerajaan tertua di Nusantara yang memiliki peninggalan berupa candi adalah kerajaan Mataram Kuno. Mataram Kuno berdiri pada abad ke-8 di Provinsi Jawa Tengah. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno yang berupa candi antara lain candi Kalasan, candi Prambanan, candi Ijo, candi Sewu, candi Borobudur, candi Sambisari, dan masih banyak candi lainnya.
Kerajaan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Semenjak itu di Jawa Timur mulai berkembang agama Hindu dan Buddha beserta kebudayaannya. Berkembangnya agama Hindu - Buddha di Jawa Timur akibat perpindahan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah melahirkan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang lain. Majapahit adalah salah satunya. Berdasarkan kitab Pararaton, kerajaan Hindu-Buddha terbesar se-Indonesia ini berdiri pada tahun 1293 M di daerah Tarik, Sidoarjo. Kerajaan Majapahit berpusat di daerah Trowulan, Mojokerto dengan raja pertamanya yakni Hayam Wuruk. Seiring dengan perkembangannya, Majapahit melahirkan berbagai kebudayaan di seluruh daerah kekuasaannya, termasuk di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Beberapa candi di Tulungagung mayoritas adalah peninggalan dari Majapahit. Salah satunya adalah candi Dadi.
Candi Dadi berlokasi di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung yang didirikan sekitar akhir abad ke XIV atau XV. Candi Dadi memiliki keunikan tersendiri karena berlokasi di sebuah puncak bukit dengan ketinggian sekitar 360 meter di atas permukaan laut. Lokasinya yang berada di ketinggian membuat candi Dadi menjadi satu-satunya candi tertinggi di Kabupaten Tulungagung. Dari segi arsitektur, candi Dadi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 meter, lebar 14 meter dan tinggi 6,5 meter dengan berbahan dasar batuan andesit. Pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan merupakan sumur. Diameter sumur tersebut adalah 3,35 meter dengan kedalaman sekitar 4 meter. Secara filosofis keberadaan candi yang berlokasi di pegunungan menggambarkan kepercayaan kuno bahwasannya di wilayah pegunungan dipercaya merupakan tempat dimana roh atau dewa tersebut tinggal. Candi Dadi merupakan kawasan percandian karena terdapat candi lain selain candi Dadi yakni candi Buto, candi Wurung, dan candi Gemali. Candi Dadi merupakan salah satu candi peninggalan kerajaan Majapahit di Tulungagung selain candi Gayatri, candi Mirigambar dan candi Sanggrahan. Selain sebagai tempat pemujaan, diduga candi Dadi dahulunya berfungsi sebagai tempat pengabuan dan pembakaran jenazah tokoh atau penguasa saat itu. Penelitian terhadap candi ini pernah dilakukan oleh beberapa ahli purbakala Belanda, sebut saja N.J Krom pada tahun 1915 dan 1923, P.J Veth pada tahun 1878 dan Hoepermans pada tahun 1913.
Hingga kini keberadaan candi tersebut masih berfungsi sebagai tempat selamatan serta sebagai tempat peribadatan. Selain sebagai pusat keagamaan, candi ini juga memiliki nilai edukasi bagi pelajar dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain berupa informasi ilmu pengetahuan sejarah, sarana wisata edukasi serta sebagai tempat untuk memperoleh pengalaman nyata bagi pelajar dan masyarakat. Mayoritas para pelajar di Tulungagung masih mengunjungi kawasan candi Dadi ini, terutama anggota ekstrakurikuler Pramuka dan Pecinta Alam. Bukti faktual tersebut bisa ditemukan pada tanda-tanda penunjuk arah yang dibuat oleh peserta maupun wawancara singkat dengan warga sekitar. Di samping mengadakan kegiatan pendakian mereka juga sekaligus mengunjungi candi Dadi sebagai bagian dari pengenalan cagar budaya lokal kepada para anggota Pramuka atau Pecinta Alam. Dengan keberadaan candi Dadi ini diharapkan dapat menarik minat para pelajar terhadap candi Dadi dan berkontribusi pada pelestarian candi Dadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H