Mohon tunggu...
Nurhafid Ishari
Nurhafid Ishari Mohon Tunggu... Dosen - Authors

Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Dua Shalawat Kebanggaan Masyarakat Nadliyin Diabadikan

5 Desember 2023   15:45 Diperbarui: 5 Desember 2023   15:52 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wasilah atau tawasul tak henti-hentinya menjadi perdebatan panjang sebab masing-masing pihak yang terlibat berada di tempat yang beda. Praktik tawasul seperti ini sering disalahpahami oleh sejumlah orang. Tidak heran kalau sebagian orang mengharamkan praktik tawasul seperti ini karena menurutnya praktik tawasul mengandung kemusyrikan. Jika ada yang mengatakan orang yang suka tawasul itu musrik, bolehlah. Saya menghargai pendapat itu, tetapi saya tidak sependapat, karena itu tidak ada dasar yang kuat dan tampak memaksakan. 

Saya masih berpijak dalam pandangan Ahlu al-Sunnah wa Al-Jamaah. Tawasul itu dianjurkan dan merupakan sebuah praktik doa di mana seseorang menyertai nama orang-orang saleh dalam doanya dengan harapan doa itu menjadi istimewa dan diterima oleh Allah Swt. Dalam al-Qur'an Allah berfirman Surat al-Maidah ayat 35:

Artinya, "Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Carilah wasilah kepada-Nya."

Tawasul yang berkembang di masyarakat biasanya berwasilah atau menyertai nama Nabi Muhammad Saw, keluarga Nabi, sahabat Nabi, orang-orang yang syahid di jalan Allah, serta orang-orang yang shaleh.

Berpijak pada sebuah dua pusaka mahakarya kader NU terbaik pada masanya yaitu "Shalawat Badar" karya KH. M. Ali Manshur tahun 1960-an saat itu beliau menjabat Ketua NU Cabang Banyuwangi dan Kepala Kemenag Kabupaten yang nasabnya masih sambung dengan Kiai Shiddiq, Jember. Beliau pernah belajar Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Lasem, Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang. Kemudian "Shalawat Uhudiyah" karya KH. Adnan Syarif dikarang tahun 1980-an saat itu menjadi Direktur dan Pengajar di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya. Kiai alumni Fakultas Sastra Arab Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud Riyad Saudi Arabia dan Pondok Pesantren Tebuireng ini juga aktif menjadi Pengurus NU Cabang Lumajang, Pengasuh, Ketua Yayasan, hingga Rektor Perguruan Tinggi ternama di Lumajang.

Dilirik dari awal munculnya, Shalawat Badar ternyata punya posisi istimewa dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada era 1960-an Shalawat Badar digunakan kader NU untuk menyemangati diri dan simbol pembeda dengan Lagu Genjer-Genjer. Saat itu, genjer-genjer identik dengan PKI. Lalu saat era 1980-an sampai 2000-an dimana lagi maraknya lagu-lagu barat, pop, bahkan dangdut, Shalawat Uhudiyah dalam wadah musik mempunyai karakter dan nuansa tersendiri sebagai penyeimbang dan eksistensi musik religi di tengah masyarakat.

Pun dilihat dari sebagian lirik syair, dua shalawat ini menggunakan wasilah kepada Nabi Muhammad, Keluarga, Shahabat, serta orang-orang yang berjuang di jalan Allah Swt.

Menariknya, dua shalawat kebanggaan warga Nahdliyin ini sama-sama berwasilah kepada Nabi Muhammad Saw dan orang-orang yang berjuang di Jalan Allah Swt. Sesuai dengan judul shalawatnya. Shalawat Badar menggunakan kalimat "Bi Ahlil Badri" artinya Karena barakahnya Ahli Badar". Sedangkan Shalawat Uhudiyah menggunakan kalimat "Bi Kulli Man Jahadu" artinya dengan syafaat Pejuang Perang Uhud. Kita tahu Nabi Saw bersama para pejuang perang Badar mempunyai semangat berkobar dan atas pertolongan Allah Swt kemenangan diraih oleh Umat Muslim. Kemudian pada peristiwa perang Uhud, Nabi Saw bersama pejuang Islam punya semangat besar mempertahankan Agama dan Negaranya mampu menandingi musuh meskipun jumlah pasukannya tidak imbang serta mengenang pejuang-pejuang shahid di medan perang Uhud.

Disaat santai usai acara ceremonial yang rangkaian acaranya ada lantunan Shalawat Uhudiyah, saya mendengar langsung tausiyah dari Kiai Adnan selaku pengarang Shalawat Uhudiyah: "Cong (mas) kok bisa ya, ini saya masih hidup, banyak yang melantunkan shalawat uhudiyah dengan bacaan atau lirik yang salah, apalagi setelah saya tidak ada (wafat)", ujarnya. Akhir cerita beliau bergegas meminta saya agar menulis kembali syair/lirik lengkap Shalawat Uhudiyah dan beliau mentashihnya (koreksi).

Begitupula sang Kiai Manshur pengarang Shalawat Badar. Beliau tidak ingin karya emasnya ditulis apalagi dibaca salah. Sebuah respon baik dari santrinya mengabadikan pada tembok besar yang bertuliskan Shalawat Badar tepat di sebelah Maqbarahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun