Di sana mereka berlomba-lomba menarik pelatuk, ada juga yang berlomba-lomba mewujudkan impian yang selama ini masih "nyangkut" di ubun-ubun.
Lalu disana mereka berlomba-lomba menanti datangnya sang pangeran, juga di sisi sana mereka berlomba-lomba menanti sang putri salju yang lembut. Kedua-duanya saling berlomba-lomba hingga akhirnya yang dikejar-kejar masih terngiang-ngiang bahkan yang selama ini dikiranya sebagai pangeran atau sang putri bukan seperti apa yang selama ini dikejar-kejar, mungkin karena imaji begitu dinamis lalu meringsut dalam dada.
Setiap hari yang tersaji adalah perlombaan-perlombaan, mungkin ada sesuatu yang tak perlu dikejar namun tetap "ngotot" mengejarnya, lalu menafsirkannya dengan berbagai argumen-argumen pembelaan.
Dan...mungkin saya tak perlu berlomba-lomba menulis status, memperjelas status, atau menguber-uber sesuatu yang selama ini sudah cukup menjadi sebuah materi yang ternyata tak begitu penting. Materi dalam ruang dan waktu sehingga keterbatasannya bisa saja dapat diukur, lalu mengapa ukuran keterbatasan itu malah dipaksakan sebagai ketakterbatasan sehingga nampak bahwa terbatas itu adalah segala-galanya?,
Saat membaca kalimat "berlomba-lombalah di dalam kebajikan", kebajikan itu menuju yang tak terbatas, atau pencitraan dari hal-hal yang benar-benar sumber segala Kebajikan, bukankah kebajikan itu meliputi kasih sayang dan bahkan cinta?. Cinta yang tak mengenal sekat-sekat bahkan yang sebelum agama cinta sudah mendahuluinya, bukankah landasan adanya keyakinan hanyalah cinta?
Oh...kalau begitu, berlomba-lombalah dalam kebajikan bukan hanya sebatas kalimat-kalimat yang menghiasi bibir atau ruang-ruang media, namun sebuah manifestasi dari gerakan yang maha tak terbatas, sebab kita adalah sumber dari kebajikan dan sangat berpotensi kembali pada kebajikan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H