Mohon tunggu...
Haerul Said
Haerul Said Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kesuksesan terbesar adalah sadar dari mana, di mana dan ke mana hendak melangkah haerulsaid14@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yuk “Road to Heaven”

9 September 2014   18:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore seperti kemarin muncul lagi, bagaimana dan apapun keinginan sore pun menjelang, entah dia adalah seorang pemimpin perusahaan, seorang modeling atau pun pelajar, kita tahu sore hanyalah penyebutan dari waktu menjelang terbenamnya matahari atau menjelang magrib. Lalu untuk apa ini dibicarakan?, Memang membicarakannya pun tetap saja takkan mengubah sore menjadi pagi atau malam, karena sore berlalu disusul malam dan keesokannya subuh dan pagi, kalau melirik waktu saya teringat dengan ayat yang berbunyi wal asyri atau demi masa.

Saya hanya ingin bercerita bahwa sore itu ketika anak-anak (sebutan untuk para mahasiswa-i STFI Sadra) hendak pulang ke asramanya dengan menumpang bus atau metromini yang telah disewa setiap hari. Bagi sopir dan mahasiswa tentu saja beda dalam melewati hari-hari(waktu) mereka, dan bagaimana pun cara mereka melewati hari-hari itu, ternyata bagi mereka waktu itu sangat berharga terlepas bagaimana mereka memaknai dan menggunakannya dan makna berharga baginya, waktu yang ternyata bisa kita bilang singkat dalam persepsi keinginan yang belum tercapai, dibilang cepat saat pekerjaan belum kelar dan macam-macamlah persepsi tentang waktu kaitan waktu. Untuk seorang pengantin baru waktu bisa saja dimaknai sebagai aksi curhatan satu sama lain atau bisa juga aksi saling memahami dan saling belajar, berusaha menerapkan arti kekuasaan Sang Pencipta dengan kembali melirik ketidakberdayaan jika saja seandainya tidak bersama atau belum menikah J. Bukankah segala yang diciptakan berpasang-pasangan?.

Sore itu si Sopir berada di toilet sementara anak-anak sudah menempati bus dan bersiap-siap atau tak sabaran menuju asramanya, sembari menunggu sopir anak-anak bersenda gurau, dan saya sendiri menunggu si sopir untuk memberikan upahnya karena sistem pembayaran setiap hari tentu saja tiap hari memberikan duit buat sopir. Untuk mengisi kejenuhan menunggu maka saya berusaha menghibur anak-anak dengan bercanda dan  saya berlagak  sebagai sopir,

“Sudah siap berangkat?” sambil memegang setir padahal mesinnya belum menyala,

sontak saja anak-anak berkata sambil tertawa “ Mau buat jalan baru ya pak? hehehe”, karena mereka tahu kalau saya belum bisa nyupir, J,

“ngak, tapi kita melakukan perjalanan dengan judul Road To Heaven” sambil menunggu reaksi mereka saya memperhatikan ekspresi dan tanggapannya meski dengan sedikit bercanda, tentu saja persepsi mereka tentang Road To Heaven atau jalan menuju surga berbeda menanggapinya, saya mendengar ada yang bilang “Ihh…pak jangan ahh”, sementara yang lain mungkin diam atau sedang berpikir atau menanggapinya dengan biasa-biasa saja sebab toh itu adalah candaan.

Road to Heaven, sebagai manusia biasa atau manusia dekil saya tak tahu pasti namun pasti ada peta yang pasti menuju ke sana bukan perkiraan atau reka-reka saja. Namun masalahnya yang pasti itu yang mana? Atau tak ada dimana sehingga menjadi tak pasti?, nah bingung, Ya sudah, bukankah manusia telah dianugerahkan seperangkat pikiran untuk dipergunakannya sehingga usaha untuk ke sana ada petanya, insya Allah. Mungkin begitu.

Saya pernah mendengar bahwa untuk ke surga adalah dengan melakukan kebaikan, dan kebaikan tertinggi itu adalah mengenal Tuhan. Wow…Tuhan?, pasti kalimat ini bukan kalimat biasa, dan meski  tertera bahwa Tuhan itu Esa namun tak sederhana itu atau tak sesederhana kalimat Tuhan itu Esa dengan menjalani hidup bahwa tak ada tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa itu atau tunggal, dan saya pun teringat kalimat Laa Ilaha Illallah, kalimat Tauhid yang senantiasa perlu direnungkan.

Mengenal butuh proses khan?, semisal saya ingin mengenal calon istri dulu tentunya saya berkomunikasi dengan dia, dan akhirnya timbul rasa sayang sehingga kalimat “Tak kenal maka tak sayang” pun berubah menjadi “perkenalan yang berlanjut itu menimbulkan rasa sayang” J

Lalu bagaimana dengan mengenal Tuhan?, setiap kata tentu ada makna, maka makna yang tepat itu untuk Tuhan yang mana?, O ya ada definisi bahwa Tuhan itu tak terbatas pernah saya dengar, dan tak terbatas ini negasi dari terbatas sehingga tak terbatas yang saya pahami adalah janganlah membatasi sesuatu yang tak terbatas, karena itu adalah falasi. Namun kalau tak terbatas bagaimana mengenal tak terbatas itu?, fiuhh.., rumit ya?, (pemahaman ini wajib hati-hati) tapi apakah berhenti sampai disitu?, tentu saja tidak, karena ternyata saya memahaminya bahwa manusia diciptakan untuk berusaha meresapkan pemahaman yang luar bisa ini sehingga termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari.  Manusia itu adalah ketika ada usaha mencapai ke arah sana secara maksimal, arah mengenal Tuhannya dengan baik, berangkali bisa melirik kalimat “Siapa yang mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya”, dalam tubuh raga ini ada jiwa, dan jiwa ini apakah mampu diabstraksikan?, atau jiwa ini darimana sih sebenarnya?, dan ternyata jiwa ini bukan benda yang kasat mata atau bisa diraba, berbeda dengan raga manusia yang nampak dan bisa diraba dengan pancaindera, maka untuk meraba jiwa sendiri adalah mengenalnya, terus mengapa harus mengenal diri sendiri?, bukankah itu hal yang menggelitik?, bagaimana pula caranya mengenal diri sementara diri itu ada dalam diri, hehehe…makin bingung?. Yaa okelah, ini bisa jadi ‘pekerjaan rumah’ untuk kita renungkan, lebih banyak merenung itu adalah gaya komunikasi diri atau jiwa, semakin banyak berkomunikasi jiwa maka insya Allah apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dalam menghayati pencipta mencapai usaha yang luar biasa.

Maka ke sumber mana lagi untuk mencapai arah pengenalan itu kalau bukan antara alQur’an dan akal berpadu?, atau dengan kata lain al Qur’an menjadi rujukan atau peta menuju surga, tentu saja dibawah bimbingan seorang guru, lebih rinci lagi guru yang tepat. Alam semesta bisa menjadi guru, namun karena saya pribadi adalah makhluk yang dekil hina maka orang-orang yang cerdas bisa menjadi guru tanpa mengkultuskan atau fanatisme. Wallahua’lam bi shohwab. Mohon maaf kalau ada salah tulis atau hal-hal yang membuat pembaca merasa ngak senang. Maaf ya.. :), salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun