Tawuran merupakan jalan buntu dari penyelesaian masalah. ketika kita menjadi seorang pelajar, lantaran sekolah yang seharusnya menjadi media bertransaksi ilmu, dari seorang guru ke siswa atau dari seorang siswa ke siswa yang lain, itu disalahartikan oleh beberapa pihak disekitar kita. Sebut saja, siswa, guru, bahkat menurut saya pemerintah juga terlibat langsung dalam suatu proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah.
Pemerintah yang menyediakan seperangkat aturan, baik itu LKS, Silabus, bahkan lulusannya. Sedangkan guru adalah mediator antara penyaluran aturan tersebut kepada semua siswa. Sedangkan siswa hanya menerima dan menyimpannya dalam pikiran kemudian dimasukkan kedalam hati.
Tawuran yang identik dengan sebuah kekerasan dan seharusnya terjauh dari yang namanya seorang siswa yang sedang menuntut ilmu, itu malah sudah menjadi hal yang biasa. Lantaran tawuran adalah media mereka menyalurkan kekesalan yang ada dalam diri siswa.
Pemerintah yang lepas kontrol ketika sedang beradu argument, sehingga adu jotos. Merupakan contoh langsung yang diberikan seorang pemimpin. Hal ini mungkin saja pengaruh yang tidak sadar dilakukan, namun gencarnya pemberitaan terhadap media dalam meliput, membuat siaran itu di ulang-ulang dan terus di ulang beritanya. Dan bukannya sesuatu yang di ulang-ulang itu merupakan proses penghafalan yang terbaik.
Guru yang menjadi figur orang tua kedua kita ketika disekolah juga gagal dalam menjalankan tugasnya, lantaran tugas guru bukan hanya mediator penyampaian aturan dan materi yang diberikan dari pemerintah dan disampaikan kepada siswa. Setelah materi selesai disampaikan, kemudian guru kembali ke kantor dan bercengkrama dengan guru yang lain, atau bahkan langsung pulang kerumahnya masing-masing.
Hal ini, mungkin saja ketika pengangkatan PNS ada guru yang menyuap, agar dijadikan seorang PNS. Dampaknya, guru tersebut hanya mementingkan gaji dan kehidupan pribadinya. Peningkatan etos dalam mengajar juga tidak dilakukan, bahkan pendekatan terhadap siswa sedikit. Dampaknya guru mempunyai space terhadap siswanya sendiri. Akibatnya, guru seakan-akan ekslusif dimata siswa itu sendiri. Begitupun pembelajaran yang lebih condong ke sifat kognitif yang mereka terapkan, sehingga mereka luput akan peningkatan affektif dan behavior siswa. Sehingga tidak adanya pembelajaran dengan metode pendidikan karakter. Akibatnya siswa juga yang menjadi korbannya.
Siswa yang beraksi ketika tawuran juga tidak sepenuhnya kita salahkan, lantaran mereka hanya ingin mengeluarkan bakatnya namun tidak ada wadah yang mendukung, permasalah dikeluarga, tugas yang menumpuk disekolah, guru yang killer dalam mengajar, tidak adanya tempat untuk bercerita persoalan yang sedang dihadapi, membuat mereka mencari tempat yang nyaman. Akibatnya, mereka bergaul dengan sebuah perkumpulan atau biasa disebut genk, yang mana genk tersebut dapat memberikan kenyamanan bagi keberadaan mereka.
Tidak adanya pengarahan yang benar, membuat siswa membenarkan apa yang disampaikan seorang temannya ketika memecahkan masalah. Sehingga, siswa akan semakin membenci dengan orang-orang yang sekiranya membuat masalah dengan dia. Dan mereka pun, melampiaskannnya dengan tawuran antar sesama, hal ini disebabkan pengaruh ideology yang disampaikan seorang senior kepada junior, sehingga memunculkan kebencian terhadap golongan yang lain.
Lalu, apakah kita masih menganggap akar dari tawuran sendiri merupakan murni kesalahan siswa???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H