Melihat sekilas judul diatas mungkin bagi mereka yang reaktif akan mengemukakan sanggahan maupun comment tanpa memikirkan lebih mendalam lagi apa sebenarnya maksud judul tersebut. Itu hal lumrah karena di masyarakat kita mengajarkan kita semboyan tetaplah tegar seperti batu karang. Tatkala mengasosiasikan batu karang dengan kata rintihan maka akan menimbulkan reaksi karena begitulah frame knowledge yang ada mengakar dalam pikiran kita. Sesungguhanya semoboyan tersebut tidaklah salah sama sekali, saya cuma mau melihat fenomena batu karang dari sisi lain tanpa mengurangi apa yang telah di ajarkan selama ini.
Suatu ketika segerombolan ikan terseret terbawa gelombang yang besar sehinggah membuat mereka terdampar di Negara entah berantah yang tak bertuan melainkan serumpunan batu karang yang berbaring di dasar samudra. Sampai di situ gelombang hebat terus datang dan makin besar, seekor ikan mencoba masuk di dalam rerumputan batu karang dan itu membuat seluruh gerombolan tersebut masuk ke dalam persemaian batu karang itu. Apa yang terjadi mereka merasa aman walapun di luar masih nampak jelas ombak yang sedang menyanyi dengan alunan frekuensi tinggi. Mereka semua berterima kasih kepada batu karang karena berhasil membendung perjalanan tuna arah mereka yang di pimpin oleh sang ombak. Seekor ikan mewakili kelompoknya:
“wahai sang Batu karang terima kasih telah menyelamatkan kami”. Kata sang ikan.
Sang karang tak mengucapkan sepatah kata pun kecuali sebuah senyuman hangat tanda respon ucapan terimah kasih sang ikan yang berarti bahwa tidak perlu berterima kasih karena dia (sang karang) tidak melakukan apa-apa, justru sang ikanlah yang menyelamatkan diri mereka sendiri karena mau berkunjung ke kediamannya. Suasan akrabpun tercipta. Seiring waktu berjalan di keheningan samudra terdengar sebuah alunan rintihan. Seekor ikan mengambil inisiatif tuk keluar mengecek dari mana sumber rintihan tersebut. Tapi meter demi meter sang ikan mencari, malah suara rintihan tersebut semakin mengecil. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi sang ikan. Sang ikan kembali dan melakukan diskusi dengan kelompoknya tuk mencari tahu asal suara rintihan tersebut. Yang mengherankan semakin jauh mereka mencari semakin kecil alunan tersebut, tapi suara keluhan tersebut kian mengeras seiring dekatnya mereka dengan kediaman batu karang. Tak sengaja seekor ikan mungil yang lagi berkeliaran di sekitar rumah sang karang, menemukan sang karang sedang meneteskan air mata dan mengeluarkan rintihan karena menahan derasnya sang ombak. Bayi ikan tersebut segera melaporkan kepada kelompoknya bahwa ternyata suara rintihan itu milik sang karang. Mereka semua bingung dengan pertanyaan “kok bisa ya sang karang merintih kesakitan dia kan kuat dan kokoh?”.
Tiba-tiba sepercik jawaban terbersit dari sang karang yang berbunyi “hakikatku memang kokoh dan kuat, rintihan jg adalah bagian dari hidupku. Tapi hal itu semua tidak akan meruntuhkan hakikat penciptaanku tuk menjadi kekar dan tegar di dasar laut dan menjadi tempat berlindung bagi penghuni laut. Rintihanku tidak akan membuat kalian merasakan derasnya sang ombak jikalau engkau tetap berada dalam kediamanku. Persistensi adalah milik ku sepenuhnya denga segala atributnya”.
Kelompok ikan tersbut mendapat pelajaran yang berharga dari sang karang. Sekarang menjadi pertanyaan adalah maukah kita belajar dari sang karang? Akankah keluhan kita dalam hidup mematahkan semangat kita tuk terus berjuang dan berkarya? Jawabannya semuanya ada pada diri kita sendiri. thanks....
Salam Hangat,
Haeril Halim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H