Hutan yang lebat dan juga penuh bahaya yang mengancam sana sini ternyata masih membuat orang-orang tertentu mendiami dan "hinggap" secara nomaden dengan perilaku seperti zaman purba.
Mengandalkan hidup dari satu hutan ke hutan lain, orang Rimba muncul untuk menghiasi cerita tentang kesenjangan pembangunan. Walaupun ada sebagain orang Rimba yang akhirnya mau menerima perubahan. Tapi tetap sebagian besar dari mereka mempertahankan cara nenek moyang.
Itulah cerita modernisasi bangsa ini yang tumpang tindih dan sekian lama melupakan Anak Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi untuk bermetamorfosa kedalam modernisasi sebenarnya. Mereka masih bercawat dan kemban untuk menutupi badan mereka, dari sana mereka belajar dengan "ledakan" teknologi disekitar Taman Nasional, tempat berlindung mereka.
Anak Rimba pun belum dapat bersekolah formal pada umumnya karena keterbatasan dari segala macam hal di Taman Nasional Bukit Dua Belas,Jambi. Mereka hanya mengenal baca Tulis Hitung dari beberapa LSM yang peduli masa depan mereka.
Sekarang Anak Rimba telah berubah, tak seperti dulu yang "gaptek" , proses asimilasi terhadap warga sekitar sana membuat mereka kini mengenal teknologi komunikasi melalui telepon seluler. Tak perlu bayangkan Blackberry atau smartphone canggih lainnya, karena dengan Nokia model lama cukup untuk menunjukkan kelas mereka disesama anak Rimba dan juga para relawan pengajar disana. Semua itu harus dilengkapi dengan kemampuan baca tulis hitung sehingga mereka perlahan mulai dapat menggunakan ponsel yang diberikan atau ada yang dibelikan sendiri oleh orang tua mereka.
Dan orang tua mereka tergoda ketika anak mereka asyik dengan hpnya. Orang tua tergugah untuk mengenal hp yang berarti harus mengenal baca tulis hitung juga seperti anak mereka, tapi beberapa orang tua yang sudah tak "sanggup" mempelajari angka dan kata, sehingga telepon seluler hanya untuk menelpon saja tanpa menulis pesan.
Orang Rimba akan berpindah jika ada kerabat mereka yang meninggal, mancari ladang baru dan melupakan "kesedihan" diladang lama. Dengan alam yang terjal dan susah dilewati mereka pun mencoba meringkas waktu dengan memiliki kendaraan, motor. Walaupun bekas namun mampu mengantar mereka sampai tujuan. Dengan kondisi lahan disekitar Taman Nasional Bukit Dua belas yang medannya masih susah untuk ditembus, maka diperlukan kenekatan untuk sampai ditujuan atau menjadikan motor untuk "menaiki" orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H