Bencana adalah bagaimana kita mempelajari dan memahami alam,,,
Hidup di "cincin api" adalah takdir, tentang selanjutnya bagaimana "menyelamatkan diri" dari alam yang terus bergejolak, adalah kebijaksanaan, dan ini harus dimiliki oleh pemerintah Indonesia sebagai negara yang berada disepanjang gunung api aktif. Hidup digaris dimana puluhan tungku (gunung) api yang memanjang dari Aceh sampai Papua seharusnya membuat pemerintah Indonesia was was dan khawatir tingkat tinggi, takdir sepertinya sudah menggariskan sebuah mitigasi atau pencegahan (sebelum bencana yang menyebabkan banyak korban) untuk dibuat dan dilakukan.
Ini adalah pekerjaan rumah bagi banyak negara yang berada dalam cincin api bukan hanya Indonesia, Jepang pun begitu menjadi negara yang memiliki banyak gunung api. Bencana yang datang ternyata bukan hanya menghadapi bencana dari gunung api saja, ada gempa dan tsunami yang mengintai setiap harinya. Jepang pun sudah membangun banyak tembok tinggi untuk menghalau tsunami disepanjang garis pantainya sebagai bagian antisipasi tapi tetap saja ketika Tsunami datang, korban di negara Jepang banyak berjatuhan.
Namun Jepang adalah Jepang, yang selalu belajar dari pengalaman, walau sudah menjadi negara maju tetap saja mereka memulai rintisan mitigasi seperti di Fukushima dimana Tsunami menyapu garis pantai sepanjang 2 KM dan meluluhlantakkan reaktor nuklirnya, sampai disini menjadi pertanyaan tentang sejauh mana pemerintah Indonesia memulai rintisan mitigasi untuk daerah yang memang rawan bencana.
Penyatuan lembaga riset adalah langkah awal
Proses mitigasi adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Kajian yang lengkap harus dipaparkan dari beberapa daerah yang memang rawan bencana. Dan tugas ini memang diwajibkan kepada lembaga-lembaga penelitian dan riset yang berada dibawah pemerintah yang ternyata koordinasi risetnya masih saling tumpang tindih dan menimbulkan kerancauan tersendiri.
Kita pun masih ingat bagaimana prediksi Tsunami besar di pesisir selatan pulau Jawa oleh peneliti tsunami pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko yang membuat kajian yang mengungkap potensi tsunami setinggi 57 meter di Kabupaten Pandeglang, Banten. Tsunami ini juga berpotensi akan mencapai Jakarta Utara. Namun, itu semua masih bersifat kajian awal dari simulasi model komputer yang masih perlu dikaji lagi, untuk keperluan antisipasi dan mitigasi bencana.
Pak Widjo mengatakan tsunami itu bisa terjadi karena di Jawa Barat tengah berpotensi terjadi gempa megathrust di daerah subduksi di selatan Jawa dan Selat Sunda. Salah satu contoh dampak gempa megathrust ini adalah adanya gempa di Banten pada akhir Januari 2018. Apabila kekuatan gempa mencapai 9 skala Richter di kedalaman laut yang dangkal, tsunami besar akan terjadi.
 Dari kejadian ini nyatanya selain BPPT ada LIPI, BMKG dan Balitbang ESDM yang melakukan kegiatan penelitian dan eksplorasi ilmu pengetahuan namun pada akhirnya tidak menghasilkan satu data untuk mitigasi, sampai disini penyatuan lembaga-lembaga riset seperti yang diamanatkan oleh UU SisnasIptek menemui titik krusialnya.
Untuk menghasilkan satu data dan selanjutnya big data tentang kebencanaan yang terjadi di Indonesia, maka kajian yang diharapkan terstruktur dan sistematis sehingga menghasilkan proses mitigasi pada daerah yang rawan bencana. Inilah yang dinanti dari lembaga-lembaga riset pemerintah yang selama ini cendrung inklusif satu sama lain sehingga proses mitigasi yang menjadi tuntutan dari masyarakat tidak pernah selesai
Mitigasi bencana pun nantinya diharapkan menjadi tugas awal dari Badan Riset dan Inovasi Nasional yang diamanatkann oleh Undang-undang SisnasIptek. BRIN sendiri diklaim oleh beberapa pemegang kepentingan di lembaga-lembaga riset di Indonesia sebagai sebuah loncatan besar untuk Ilmu pengatuan dan teknologi di Indonesia. Maka patut dinantikan bagaimana kajian mitigasi oleh Badan Riset Dan Inovasi Nasional.