Setiap negara tentunya memiliki ragam budaya dan bahasa, terutama bahasa lisan yang beragam untuk menyampaikan berbagai macam hal. Dalam bahasa Indonesia, contohnya, pembicara bisa mengatakan "tau" untuk menyatakan ketidaktahuan. Selain itu, kata (shireo) dalam bahasa Korea memiliki banyak arti tergantung konteks penggunaannya. Kata tersebut bisa berarti tidak mau, tidak bisa, bahkan membenci.
Ragam budaya dapat ditemui hampir di seluruh negara, tak terkecuali Jepang. Dalam budaya dan bahasa Jepang, dikenal ragam lisan yang disebut aimai. Aimai merupakan ungkapan samar atau ambigu dalam bahasa Jepang yang mencerminkan kesantunan masyarakat Jepang. Ragam bahasa ini cenderung digunakan sebab masyarakat Jepang kebanyakan enggan menunjukkan penolakan atau respon negatif secara gamblang (Susanti, 2013). Sebagai gantinya, mereka menggunakan kata atau kalimat lain yang mengacu pada penolakan secara halus.
Salah satu contoh bentuk aimai adalah penggunaan (demo), (muzukashii) juga (chotto) sebagai cara implisit untuk menyatakan penolakan.
A:図書館へ一緒に行く?
Toshoukan e isshoni iku?
Mau pergi bersama ke perpustakaan?
B:なんか難しい。。
Nanka muzukashii..
Sepertinya sulit..
Hal ini terbentuk karena kompleksitas budaya jepang. Seperti (honne to tatemae) yang merupakan sebuah konsep sikap sebenarnya dan tidak sebenarnya. Aimai juga karena banyaknya peraturan tidak tertulis di Jepang seperti pantangan untuk menolak secara langsung. Hal ini dikarenakan mengucapkan kata (iya) yang berarti tidak dirasa tidak sopan (Davies & Ikeno, 2002). Maka dari itu banyak penggunaan kata tidak langsung seperti demo yang seringkali dirasa bertele-tele juga aneh oleh kebudayaan lain.