Siapa pun yang tidak menunjukan ketertarikan pada politik tidak bisa kita anggap sebagai orang yang hanya memikirkan urusannya sendiri: sebaliknya, orang seperti itu adalah orang yang tidak memikirkan urusannya sama sekali.
(Orasi pemakaman Pericle, di Thucydides, The Peloponnesian War, 147)
Semoga kutipan diatas tidak menjadi pembenaran bagi himpunan (secara personal maupun kelembagaan) untuk menjustifikasi, sehingga pemakluman jika terjebak dalam superioritas politik.
Tak ada yang menolak bahwa hmi adalah organisasi pensuplai utama kader-kader bangsa, baik yang berperan sebagai politisi muslim, cendikiawan, ekonom, budayawan, konglomerat yang mengisi setiap kehidupan lini bangsa.
Dari sisi yang lain, HMI memiliki keunggulan komparatif, kebesaran hmi lewat tokoh-tokohnya menjadi konteks yang paling berharga dalam membangun nama besar himpunan. Hanya disayangkan kebesaran masa lalu tidak disikapi secera kreatif oleh setiap kader, hubungan antara senior dan junior awalanya bersifat historis menjadi hubungan yang bersifat struktural fungsional, (terlebih jika senior adalah politisi) yang memiliki lingkar pengaruh terhadap kebijakan, maka tak jarang agenda kelembagaan pun terkesan seremoni atau kalau tidak, dirasakan begitu kaku dan monoton. Sehingga HMI, (tanpa bermaksud menjustifikasi) terkesan tak lebih dari sekedar “lembaga baru politik” yang menyediakan kebutuhan bagi lulu lalangnya lalu lintas superioritas politik.
Hubungan antara senior dan junior yang awalnya sebagai sumber inspirasi berubah menjadi dasar dalam mengambil kebijakan serta kerja kelembagaan. Penolakan terhadap fenomena intervensi politik alumni akan berpengaruh secara signifikan terhadap aktualisasi program dan sikap organisasi. Akibatnya alumni (terkhusus jika politisi) dijadikan kiblat pemikiran dan gerakan, bukan dimaksudkan untuk menolak tetapi lebih didasarkan untuk memposisikan alumni, pada tempat yang lebih proposional.
Dari sini kemudian tak salah jika saya ingin mengatakan, tenaga dan pikiran kerja-kerja kelembagaan himpunan terjebak oleh rutinitas konflik didomain internal, apalagi streotif yang dibangun adalah pengkotak-kotak kader pada kubu superioritas politik, bangunan konstruksi stigma pengkultusan pada satu atau lebih kubu, akhirnya “menyurutkan” semangat agenda pembaharuan, yang dulu pernah lantang disuarakan oleh Johan Effendi, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Deliar Noor, dan lainnya.
Memikul Beban Sejarah
Secara eksplisitit, pada dasawarsa terakhir begitu sulit menemukan sosok pembaharu ditubuh himpunan, disadarai atau tidak salah satu faktor yang menjadikan organisasi himpunan ini besar adalah tumbuh suburnya pemikiran islam yang rasional. Tidak hanya pada tafsir dan fikih melainkan pemikiran keislaman telah dikaitkan dengan teori-teori sosial, budaya ekonomi dan politik, karena sejak awal hmi telah menyatakan terbuka dalam wilayah pemikiran tanpa harus mengkotak-kotakan secara sempit antara Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah semua bisa diterima selagi ada ruang untuk didialogkan.
Itulah pula, yang menjadikan hmi kaya pada bidang pemikiran, tokoh seperti Dawam, Adi Susano, Imadudin Abdurrahim bukanlah lahir dari mahasiswa IAIN, tapi mampu memahami islam secara baik, bahkan aktivitas diskusinya melebihi mahasiswa IAIN. Itulah kemudian komitmen keislaman dan kebangsaan menjadi “ruang segar” untuk terus didalogkan, seperti ungkapan “islam yes, partai islam no” menjadi contoh kerinduan yang tak bisa dilupakan dari gagasan segar “Sang Guru Bangsa” yang dilahirkan dari rahim himpunan, Nurcholis Madjid. Sehingga kemudian secara kolektif kader hmi tak bisa tinggal diam untuk menjawab bahwa himpunan dari segi pemikiran kehilangan “Daya Tonjok”.
Lebih Dari, Sekedar Memantaskan
Pekerjaan untuk membesarkan himpunan tidak mudah dan butuh waktu panjang, kontruksi untuk berbenah sedemikian gamblang. Sudah lebih daripada cukup alasan agar melakukan otokritik kepada setiap personal untuk mempertanggungjawabkan kebesaran nama himpunan.
Kinerja setiap institusi ditubuh himpunan dari tingkat Komisariat, Korkom, Cabang, Badko hingga PB akan dicatat dengan tinta emas jika “skandal” untuk melahirkan “tokoh-tokoh besar” tidak bisa dijawab dan diselesaikan sebagaimana mestinya. HMI secara tegas harus berani menyatakan bahwa proses untuk mencetak dan mensuplai kader, nyaris kehilangan profil dan kriteria yang terukur.
Pada titik dan bagian akhir, marilah secara bersama pada momentum 5 Februari Refleksi 68 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (1947-2015), HMI harus mulai menentukan navigasi untuk berada pada arus superioritas politik atau berada pada komitmen pembaharuan, sehingga wacana kebangkitan tak sekedar menjadi gagasan amatiran.
Pada level “Kedalaman Kesadaran” masa depan, kebesaran dan ketokohan Kader HMI harus diresapi, bukan hanya sebagai tuntunan sejarah, melainkan merupakan kewajiban konstitusi, sehingga bangunan penghayatan gerak langkah kader dihimpunan harus didasari dengan keinginan yang kuat untuk lebih dari “sekedar memantaskan”.
-Muhammad Haekal Al Haffafah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H