Mohon maaf jika terlalu lama saya menuliskan kegelisahan bagian kedua, karena berbagai kesibukan dan aktivitas barulah saya sempatkan berbagi kegelisahan ini kepada rekan-rekan. Ini yang pertama http://politik.kompasiana.com/2014/08/14/opini-saya-gubernur-sumsel-part-1-memimpin-ala-mahasiswa-680027.html , Pedagang sektor informal pertama kali dikemukakan pada tahun 1971, informalitas didefinisikan ulang sebagai sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan, pada gililrinnya konsep ini kemudian berkembang sebagai sebuah respon masyarakat terhadap Negara merkantalis yang kaku.
Dalam contoh hari ini, keberadaan Negara yang tidak hadir, ketika lapak-lapak kehidupan kaki lima digusur, lalu kemudian atas nama ketertiban umum puluhan orang dipukuli, selanjutnya disadari atau tidak nilai kemanusiaaan telah ditukar dan dihargai dengan harga murah. Sehingga pembangunan bukannya untuk rakyat, melainkan rakyatlah (yang dikorbankan) untuk “pembangunan”.
Saya teringat pada saat terjadi krisis moneter pertengahan 1997, dimana para pengusaha besar dan BUMN tidak dapat bertahan menghadapinya, usaha kecil (sektor informal) justru mampu bertahan ditengah krisis tersebut dan bahkan berkembang. Sektor informal telah menunjukkan eksistensinyadalam perekonomian nasional dengan pelbagai kontribusi, baik itu dari sisi makro maupun mikro. Hal tersebut sebenarnya merupakan fakta lama, namun tidak pernah terangkat kepermukaan. Hal ini terjadi disebabkan karena langkanya definisi yang tepat tentang sektor informal. Secara sederhana, konsep ini digunakan untuk merangkum segala kegiatan yang tidak termasuk dalam sektor formal, yaitu sektor yang telah terorganisir, terdaftar dan dilindungi oleh hukum
Berbicara soal pembangunan, secara politis kemandirian pemerintah dan kemandirian masyarakat adalah wujud dari pengembangan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki kehidupan material secara adil dan merata yang pada ujungnya berpangkal pada pemberdayaan sektor informal masyarakat.
Masyarakat sudah mahfum bahwa sektor informal merupakan penampung angkatan kerja dominan. Saya sebagai gubernur, tentulah saya paham bahwa defenisi otonomi daerah bukanlah diimplementasikan sebagai keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan daerahnya dengan sasaran peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) saja, tanpa harus memikirkan ekonomi rakyat. Padahal otonomi daerah adalah upaya untuk memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk memberdayakan potensi daerah termasuk usaha kecil kerakyatan.
Saya teringat didaerah saya Kabupaten OKI desa sirah pulau padang, secara geografis mayoritas masyarakat adalah petani dan sebagian lainnya masyarakat bergantung hidup dengan memanfaatkan air sungai sebagai usaha pembesaran ikan keramba. Hal kedua menjadi persoalan tahunan, saat lahan-lahan daerah nyaris tak tersisa, digadaikan, lalu disulap menjadi kebun sawit. yang mengakibatkan lahan pertanian rakyat kekeringan atau justru kebanjiran, belum apabila limbah pabrik mengaliri air sungai lalu menghasilkan berkah racun yang mematikan panen ikan warga.
Semestinya proyek-proyek pembangunan juga harus difokuskan, untuk membangun sistem irigasi pertanian yang memang betul menjadi “sumber kebutuhan dasar hidup rakyat” atau missal bagi rakyat kecil yang bergantung hidup pada pembesaran ikan air tawar, semestinya difasilitasi dengan mesin yang bisa membuat bahan ikan mentah menjadi ikan sale yang punya kualitas, agar usaha hasil rakyat mampu meningkatkan nilai tambah. Saya sebagai gubernur sangatlah paham tugas pemerintahlah juga, yang memfasilitasi membuat standar oprasional prosedur (SOP), ataupun dalam hal memfasilitasi Packaging yang baik, termasuk sampai pada mencari kebutuhan permintaan pasar ikan dunia, untuk membuat produk lokal atau kalau perlu pengemasan produk juga ditambah foto guburner, dengan brand kebanggaannya “Sumsel Gemilang”.
Bicara soal otonomi secara substansi yang idealnya harus otonomi itu adalah masyarakat dan individunya. Lalu kemudian bukankah ada bupati ataukah kenapa harus gubernur yang mengurusi hal- hal kecil itu? Justru demikian, wewenang gubernurlah yang luas, yang mampu mengkoordinasikan semua itu kepada bupati (raja-raja kecil) di sumatera selatan.
Baru kemudian secara sungguh-sungguh, memahami orientasi pembangunan tidak boleh terpusat pada peningkatan kapatilasisasi pembangunan secara makro saja, atau selanjutnya menjadi kenaifan jika peningkatan apbd dijadikan dasar pembenaran untuk menjustafikasi bahwa upaya mensejahterakan telah dilakukan. Lebih dari pada itu, upaya untuk meningkatkan kebutuhan layak hidup masyarakat, juga harus didorong dengan membangun dan menggalakan “home industry”dan ekonomi kreatif, semua itu muaranya ada pada sektor informal.
Pada konteks ini saya sebagai gubernur, akan manfaatkan kewenangan saya untuk mendirikan lembaga daerah dalam pembiayaan usaha kecil, meningkatkan infrastruktur bagi akses sektor informal, mengembangkan master plan,lalu menambah lokasi pasar-pasar tradisional baru, agar tumbuh para pelaku-pelaku usaha yang memberikan dampak ganda terhadap penyerapan angkatan kerja baru.(bersambung…)
M. Haekal Al-Haffafah,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI