Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau yang lebih popular dengan singkatan KKN telah menjamur di bumi ibu pertiwi. Tayangan berita di televisi maupun media masa tak afdhol rasanya jika tak menayangkan kasus-kasus berbau KKN yang terjadi di berbagai penjuru tanah air. Sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga menjelang perayaan 72 tahun Indonesia merdeka, tak henti-hentinya kasus KKN bermunculan. Satu kasus beres, seribu kasus baru muncul. Seperti jamur di hutan tropis. Tumbuh tak terkendali hingga sulit untuk diberantas.
KKN di Indonesia telah merambah ke berbagai dimensi,kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari dunia politik, pendidikan, kesehatan, hingga penegak hukumpun tak luput dari percikan lumpur KKN. Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja keras untuk memberantas praktik KKN di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari level terkecil hingga terbesar. Dengan mudah kita dapat menemukan praktik-praktik KKN dengan skala kecil di tengah masyarakat. Praktik pungutan liar, penyuapan dan gratifikasi adalah contoh mudahnya.Â
Kasus-kasus KKN skala kecil memang tak semenyolok kasus-kasus korupsi skala besar. Akan tetapi banyaknya praktik-praktik korupsi skala kecil ke denyut nadi kehidupan masyarakat membuat praktik ini perlu dibasmi karena dalam jangka panjangnya akan menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap lazim. Berbeda halnya dengan kasus-kasus korupsi yang berskala besar. Masyarakat tidak secara langsung terlibat dengan praktik tak etis tersebut. Hanya kalangan-kalangan elit saja yang bisa berkecimpung dalam praktik yang biasa disebut grand corruption. Kerugian negara akibat perbuatan praktik ini pun sangat mencengangkan, tidak hanya sebatas menyelewengkan uang negara 100 ataupun 500 juta saja, tetapi bisa sampai triliunan rupiah
KKN talah menjadi sebuah wabah penyakit akut di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 2012 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK).  Pemerintah juga menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) untuk  selalu mengukur perkembangan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat Indonesia. BPS langsung bergerak cepat menyelenggarakan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) sebagai sarana untuk mendapatkan nilai IPAK dan dimulai pada tahun 2012.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi utama, yaitu dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Dimensi persepsi yang dimaksud adalah berupa pendapat/penilaian masyarakat terhadap kebiasaan perilaku koruptif di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sedangkan dimensi pengalaman adalah berupa pengalaman berperilaku koruptif. Â Akan tetapi, ada beberapa keterbatasan cakupan dalam survei SPAK ini, salah satunya adalah hanya dapat mengukur tindakan korupsi dengan skala kecil (pretty corruption) saja. Hal ini dikarenakan untuk mengukur tindakan korupsi dengan skala besar sangat sulit dilakukan karena hanya orang-orang tertentu yang menjalankan praktik ini. Selain itu, biasanya praktik korupsi skala besar akan dilakukan dengan rapi sehingga sulit untuk ditelusuri oleh orang awam.
Pada tanggal 15 Juni 2017, BPS merilis Berita Resmi Statistik (BRS) tentang Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Tahun 2017.  Dari BRS ini terlihat bahwa masyarakat semakin sadar dan awareterhadap perilaku anti korupsi. Hal itu tercermin dari meningkatnya Indeks Perilaku Anti Korupsi tahun 2017 dibanding tahun 2015. Di tahun 2017 tercatat IPAK sebesar 3,17 sedangkan di tahun 2015 sebesar 3,59 (skala 0 sampai 5). Tentunya ini merupakan angin segar bagi bangsa Indonesia bahwa masyarakat sedikit-demi sedikit mulai paham dan menjauhi  segala macam tindakan yang berbau KKN.
Selain menyajikan data IPAK secara nasional, BPS juga merinci data IPAK berdasarkan beberapa karakteristik demografi seperti klasifikasi wilayah, pendidikan tertinggi dan umur untuk mempertajam analisis. Dari sini, terlihat bahwa masyarakat perkotaan memiliki IPAK lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan. Selain itu, masyarakat yang mempunyai jenjang pendidikan SMA/Sederajat keatas memiliki IPAK lebih tinggi daripada mayarakat yang hanya mengenyam pendidikan sampai SMP/sederajat saja. Sedangkan kelompok umur 40 sampai 59 mempunyai IPAK paling tinggi diantara kelompok umur lainnya.
Untuk rencana jangka panjangnya, meningkatkan rata-rata lama sekolah menjadi salah satu solusi agar masyarakat pedesaan semakin melek dengan anti korupsi. Dengan menempuh pendidikan lebih lama, wawasan seseorang pastinya akan semakin luas. Tak diragukan lagi jika dalam survei ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan nilai IPAK nya lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan. Hal ini diakibatkan salah satunya karena rata-rata pendidikan masyarakat perkotaan lebih lama daripada masyarakat pedesaan.
Untuk Indonesia yang bersih dari segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Sumber :