Akhir-akhir ini, data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS menjadi sorotan banyak pihak. Dalam rilis data kemiskinan 17 Juli 2017 kemaren, per Maret 2017 BPS mencatat adanya peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang semula berjumlah 27,76 juta jiwa pada bulan September 2016 menjadi 27,77 juta jiwa pada bulan Maret 2017 atau meningkat 6,9 ribu jiwa. Setelah data ini dirilis oleh BPS, berbagai kritikan bahkan sentimen negatif bermunculan dari berbagai pihak, baik itu dari kalangan pemerintah maupun khalayak umum yang berkutat di sosial media.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin tentunya menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang sedang giat-giatnya menekan jumlah penduduk miskin. Meningkatnya jumlah penduduk miskin menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pengetasan kemiskinan yang telah disusun pemerintah dinilai belum berjalan efektif menekan jumlah penduduk miskin. Berbagai alasan dikeluarkan pemerintah menanggapi hal ini, salah satunya adalah karena terlambatnya pendistribusian beras sejahtera atau yang akrab disebut rastra. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bantuan terhadap penduduk miskin belum berjalan pada bulan Maret. Itu semua disinyalir yang membuat jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2017 mengalami peningkatan sebesar 6,9 ribu jiwa sejak bulan September 2016.
Di lain pihak, kritikan bahkan celaan dari netizen tumpah ruah di media sosial mempertanyakan kelayakan Garis Kemiskinan (GK) yang ditetapkan oleh BPS karena dianggap nilai GK bulan Maret 2017 sebesar Rp 374.478 perkapita perbulan terlalu kecil dan syarat dengan nuansa politis. Lantas apakah benar Garis Kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS terlalu rendah? Untuk mengetahuinya, mari kita bersama-sama membahas apa sebenarnya Garis Kemiskinan itu sendiri dan bagaimana penghitungannya.
Dua kali dalam satu tahun (bulan Maret dan September) BPS selalu menyelenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini bisa dikatakan induk dari angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Â Tujuan utama dari SUSENAS adalah untuk mengetahui pola konsumsi rumah tangga baik itu konsumsi makanan maupun non makanan di seluruh Indonesia. Dengan demikian, dari data SUSENAS Â akan diperoleh nilai konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang digunakan sebagai dasar penghitungan GK.
Garis Kemiskinan sendiri merupakan jumlah rupian minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan. GK juga bisa disebut sebagai pembatas antara kelompok miskin dan tidak miskin. Apabila seseorang mempunyai pendapatan di bawah GK, maka orang tersebut masuk dalam kategori miskin karena dia tidak mampu untuk memenui kebutuhan dasarnya. Sebaliknya, jika seseorang mempunyai pendapatan diatas GK, maka orang tersebut termasuk kategori tidak miskin. Kategori tidak miskin disini tidak serta merta bisa langsung disebut orang kaya karena dalam kelompok ini pun terdapat orang yang rentan miskin, yaitu orang yang mempunyai pendapatan sedikit diatas garis kemiskinan pun masuk dalam kategori ini.
Lantas apa makna dari  Garis Kemiskinan sebesar Rp 374.478 perkapita perbulan? Perlu dipahami sebelumnya, angka Rp 374.478 perkapita perbulan merupakan data yang sifatnya makro, atau dengan kalimat lain adalah hasil rata-rata secara nasional dan mencakup semua umur mulai dari bayi usia beberapa bulan hingga usia kakek-kakek. Tentunya nilai GK tiap provinsi nilainya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pola konsumsi dan biaya hidup masyarakat di masing-masing provinsi tentunya berbeda-beda. Jangan samakan pola konsumsi masyarakat Jawa Tengah dengan pola konsumsi masyarakat DKI Jakarta. Maka dari itu, BPS selain mengeluarkan GK nasional, juga mengeluarkan GK per provinsi yang besarannya berbeda-beda antar provinsi.
Dalam penetapan nilai GK, BPS telah mengikuti metodologi baku yang diterapkan lebaga internasional. Penghitungan GK di dasarkan pada konsep penjumlahan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pemenuhan kebutuhan makanan untuk memenuhi kebutuhan 2.100 kilo kalori perkapita perhari yang berasal dari 52 komoditas makanan seperti beras, telur, daging dan umbi-umbian. Sedangkan untuk GKNP adalah merupakan nilai pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan non makanan seperti sandang, perumahan, listrik, pendidikan, dan kesehatan. Ada perbedaan jumlah komoditas yang dimasukkan dalam penghitungan GKNP antara perkotaan dan pedesaan. Untuk daerah perkotaan jumlah komoditas yang dimasukkan dalam penghitungan berjumlah 51, sedangkan untuk pedesaan berjumlah 47 komoditas. Perbedaan ini merupakan cerminan dari variasi kebutuhan non makanan di perkotaan lebih banyak daripada kebutuhan non makanan di pedesaan.
Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang sangat sensitif untuk dibahas ditengah kehidupan negara berkembang. Masih banyaknya penduduk yang berkutat dalam lubang kemiskinan membuat pemerintah harus bekerja ekstra keras agar dapat mengetaskan kemiskinan di negaranya. Maka dari itu data mengenai kemiskinan memiliki peran yang sangat besar bagi pemerintah ataupun pihak-pihak terkait dalam menentukan arah kebijakan pengetasan kemiskinan. Penyedia data kemiskinan yang dalam hal ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS) harus hati-hati dalam mengumpulkan, mengolah, hingga menganalisisnya agar tidak melenceng dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Metode dan alat pengukuran kemiskinan terbaik telah diadopsi oleh BPS. Pencacahan lapangan dengan metode wawancara langsung dengan responden rutin dilakukan dua kali dalam setahun agar pola konsumsi masyarakat selalu terpantau dengan baik. Ini semua tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menyediakan data kemiskinan yang akurat demi Indonesia yang lebih baik.
Referensi :
Berita Resmi Statistik 17 Juli 2017 "Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2017"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H