Mohon tunggu...
Moh. Hadori
Moh. Hadori Mohon Tunggu... Jurnalis - Deewee Institute

Dimana bumi kita pijak, hidup manfaat luas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agent of Culture

7 November 2021   06:04 Diperbarui: 7 November 2021   06:08 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlalu kritis hingga lupa kode etika yang etis, menyandang gelar mahasiswa, maha dari segala siswa sudah bukan lagi soal knowledge dan attitude sebagai pijakan dalam aspek bersosial.

Berbicara soal "knowledge" dan "attitude" sering kali, mahasiswa yang dijuluki aktepes menginterpretasi kan keduanya saling tupang tindih, artinya antara "ilmu dan adab saling bertolak belakang." Alih-alih dogma seperti itu tetap diwahyukan pada MABA "mahasiswa baru" yang tak berdosa (tak tau apa-apa).

Ada mahasiwa lawas, yang terlalu fanatis dalam hal keorganisasian, sampai lupa akan tujuan awal berangkat kuliah, yang awalnya mencari ilmu, tersesat jalan kesalahan yang yang merasa dibenarakan, hingga sudah 7 tahun dia tak lulus-lulus dari bangku perkuliahannya. Sebut saja senior itu alvin," dia sebagai mahasiswa yang  katanya organisatoris slalu memberikan "dogma" kepada "MABA" yang kerap bertemu dengannya, yang sering kali dilakukan oleh para mahasiswa "Kating" untuk mepengaruhi pemikirannya, agar supaya dia mengikuti jejaknya yang sama belum jelas kedepannya.

Dogma yang slalu dia sampaikan adalah jangan sampai kamu menjadi mahasiswa yang hanya diam saat ada kemungkaran didepan mata, kamu harus berani mengkritisinya dengan cara apappun itu. Dengan dalih mahasiswa itu "aghen of cheng, aghen of control dll" dengan cirikhas bicaranya yang seolah "Kating" (kakak tingkat) lebih tau dan mengerti dari yang tau hehehe.

Sepontan maba itu membantah apa yang telah didengar dari ungkapan seniornya yang sok suci itu, "apakah hal yang seperti itu tidaj terlalu sarkas kak, kita malah terlihat bodoh karna tidak menggunakan etika dalam mengkritisi."

Tidak dek, siappun itu kalau sudah salah harus tetap disalahkan, walaupun itu seorang tokoh masyarakat, kiai, ulama' ataupun umaro' (pemerintah). "Jawab alvin selaku seniornya"

Oooowwwhhh" kalau begitu, siiappp kak saya cari isu dulu...

Artinya dari dialektika diatas, sederhana sieh tapi dampaknya tak biasa, sebab dapat mencidrai identitas sejatinya mahasiswa.

Gelar sumpah pemuda kali sudah disandang oleh mahasiswa, karna mahasiswa yang bisa menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, berarti rakyat biasa tidak bisa??? Bisaa dong, tapii penyerapan aspirasinya dari pemerintah sedikit lebih lelet dibanding mahasiswa.

Harapan sebuah bangsa kita apa pada genggaman mahasiswa.
Mahasiswa sebagai regenerasi bangsa, yang akan mengawal maju atau tidaknya sebuah peradaban suatu bangsa, akan tetapi kalau dogma yang tak berbudi pekerti itu tetap dilestarikan oleh mahasiswa, maka jangan harap peradaban suatu bangsa menjadi maju.

Karna tujuan dari mengkritisinya sudah disalah arti, yang awal mula mengkritisi itu "menganalisis secara tajam" untuk memperbaiki hal yang kurang baik, malah digunakan untuk mendiskreditkan suatu orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun