Mohon tunggu...
Hadi Yanto
Hadi Yanto Mohon Tunggu... Dosen - PNS/guru kecil

ingin berpartisipasi menjadi jurnalis warga menyukai kisah-kisah kemanusiaan/humaniora, khususnya isu-isu sosial budaya dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pengalaman Pertama Menembus "Kompas"

30 Juli 2024   12:00 Diperbarui: 30 Juli 2024   12:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ini awal kisah Bulan Juli lebih seperempat abad lalu

Mulanya membaaca sebuah berita di harian Kompas yang sungguh menarik perhatian.  Lalu saya melakukan riset kecil-kecilan mengumpulkan data dan fakta yang terkait dengan isu tersebut, yaitu terkait program swassembada kedele yang dicanangkan pemerintah pada saat itu.  

Setelah data terkumpul, ibarat juru masak saya mengolah dan meramunya di sebuah mesin ketik Brother warna merah yang diletakkan di sebuah bantal agar tidak mengganggu teman sekamar.  Mulailah malam itu menorehkan kata-demi kata, kalimat demi kalimat sampai menjelang subuh jadilah sebuah tulisan pendek sesuai syarat yang dimintakan koran yang akan dituju dengan judul "Kendala Swasembada Kedele." 

Tulisan pertama itu kemudian dikirim dengan kilat khusus melalui kantor pos besar di sisi Kebun Raya Bogor.  Saya memberanikan diri mengirim tulisan itu ke harian Kompas, meski saya yakin menembus harian sekaliber Kompas bukan perkara mudah.  Setelah menunggu beberapa hari, tiba-tiba teman sekamar saya berteriak, "wah ini ada tulisan Anda."  

Saya pun penasaran segera menyimak koran Kompas yang tergeletak di meja tamu, dan langsung membuka halaman empat.  Saya terkaget-kaget juga senang, karena baru pertama kalinya mengirim artikel ke Kompas langsung dimuat.  Seperti mimpi saja.   Sangat berbeda dengan cerita Rektor IPB saat ini yang pernah mengalami penolakan beberapa kali sebelum artikelnya dimuat di koran.  Jujur memang sebelum itu saya sudah menjadi penulis rutin di sebuah harian milik Surya Paloh yang dibredel pada kemudian menjelma menjadi kora MI.

Pengalamana pertama yang sangat berkesan dan sulit dilupakan.  Peristiwa itu terjadi pada 30 Juli 1993 silam yang merupakan tonggak pertama saya untuk mulai menekuni dunia tulis-menulis.  Sayangnya karena kesibukan rutin di tempak kerja, dan tidak dipupuk dan di asah terus saya mulai meninggalkan kebiasaan menulis di koran-koran ibu kota.  

Saya semakin tenggelam dalam rutinitas bersamaan dengan era digital yang semakin merangsek ke seluruh sendi kehidupan manusia.  Di awal 2000an saya mulai meninggalkan kebiasaan tersebut dan merasa sudah tidak mampu lagi sampai akhirnya saya menemukan media ini.  Ya, Kompasiana seolah memanggil kembali saya untuk mulai merangkak lagi belajar menulis lagi.   Bercerita apa saja sebagai profesi baru setelah negara tidak membutuhkan saya lagi.  Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun