Mohon tunggu...
Hadiyan
Hadiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Minat pada Studi Islam dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penegakan Hukum antara bil Bashirah dan bil Hassah

2 Agustus 2023   04:00 Diperbarui: 2 Agustus 2023   07:19 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga sekarang para ahli hukum sedang mencari bentuk hukum yang ideal, guna memuaskan masyarakat, untuk dapat memberikan rasa adil, aman dan menyesuaikan dengan perkembangan peradaban. Tujuan hukum yang ideal masih menjadi sebuah cita-cita..Hukum dan keadilan kerapkali tidak sejalan disebabkan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan, kemakmuran serta keadilan sosial masyarakatnya, selalu menemui jalan terjal yang berliku dan sulit untuk dilalui. Gambaran sinis tentang perjuangan keadilan, berlangsung sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, hingga sekarang, selalu menjadi potret buruk, yang secara gamblang menunjukkan bagaimana relasi dan keberlangsungan hukum dan keadilan.

Demikian pengantar tulisan dikutip panjang dari buku karangan (alm.) Prof. Syaiful Bakhri , Guru Besar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta. “Sudah jadi rahasia umum, bahwa penegakan hukum di negeri ini dicemari suap, tekanan penguasa, bahkan tekanan publik dan pers. Jangan heran jika mafia hukum dan makelar kasus merebak laksana puncak gunung es”, tulisnya juga.

Dalam khazanah Islam, penegakan hukum, atau lebih tegas penegak hukum, berkedudukan mulia. Al-Quran menyebutnya dengan istilah Ulil Amr yang secara harfiah berarti Yang Memiliki (kewenangan) Perkara. Al-Quran bahkan menempatkan pada posisi ketiga, sesudah Allah dan Rasulnya sebagai yang harus dipatuhi (Q.S. 4:59).

Luar biasanya khazanah keilmuan Islam, dapat dilihat dari ketelitian bahasa yang digunakan al-Quran yaitu kata al-‘adl (العدل) yang menurut al-Raghib al-Isfahani dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an terkait dengan konteks hukum yang ditegakkan dengan Bashirah atau mata hati. Maksudnya, seorang penegak hukum dituntut untuk menggunakan hatinya dalam memutuskan perkara hukum, supaya ia terhindar dari kekeliruan memutus perkara hukum. Terlebih belum cukup bukti yang menjadi dasar pemutusan hukum. Apalagi demi selera penguasa, yang meminjam tesis Lord Acton (1833-1902), seorang bangsawan pemikir Inggris, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”. Awas, penegakan hukum bisa selingkuh dengan kekuasaan!

Nah, sampai di sini, ‘tersibak’ rahasia mengapa al-Quran memakai kata al-‘adl pada surat al-Nisa (4) ayat 59 di atas, juga di tempat lainnya seperti ayat 58 surat al-Nisa juga, dan surat al-Nahl (16) ayat 90. Pesannya tegas : gunakan hati dalam memproses suatu perkara hukum!

Kembali kepada Isfahani, jika penegakan hukum tidak menggunakan mata hati (bashirah), tetapi hanya berdasar hal-hal yang kasat (hassah), itu bukan al-‘adl, tetapi istilahnya adalah al-‘adiil (العديل). Hal-hal kasat, katanya, seperti timbangan (mauzunat), angka (ma’dudat), dan kiloan (makilat). Mari renungkan, jika seorang diputus bersalah karena dituduh terjerat pasal ini pasal itu, huruf ini huruf itu, jelas dapat dipermainkan hukum itu. Terjadilah jual beli kasus hukum seperti barang yang ditimbang-timbang kiloannya. Berbahaya penegakan hukum seperti ini. Apalagi jika sudah rupiah yang berkuasa. Mana ada kuasa rupiah mengenal mata hati.

Terakhir, hebatnya lagi khazanah keilmuan Islam dapat dilihat dari solusi (problem karut-marut penegakan hukum) yang diberikannya. Jika Acton, pemikir Inggris di atas, hanya bicara soal realita/fakta kekuasaan yang korup, maka 700 tahun sebelumnya, pemikir Muslim, Ibn ‘Athiyyah, dalam kitabnya al-Muharrar al-Wajiz, menggaungkan ungkapan sangat penting, “al-hukkam mazhannat al-rasha illa man ‘ashama, wa huwa al-aqall" (para penegak hukum berpotensi (me/di) suap, kecuali orang yang berlindung (kepada Allah), yang jumlahnya sedikit). Ungkapan ini memberikan solusi : penegakkan hukum tidak boleh berlepas diri dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah SWT. Dalam bahasa al-Quran, perlindungan diri tersebut dinamai dengan istilah taqwa, yang uniknya topik-topik hukum yang dibicarakan al-Quran dikaitkan sifat ketakwaan ini (lihat QS. 2: 179, 180, dan 183).

Semoga para penegak hukum di negeri kita tidak buta mata hatinya. Mereka mau berlindung kepada Allah, sehingga mendapat perlindunganNya. Amin ya rabbal ‘alamin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun