Akhir-akhir ini, kita merasakan bagaimana peliknya kehidupan yang kita jalani. Tak terasa sudah berlalu 4 tahun lamanya pandemi COVID-19 yang meninggalkan berjuta cerita duka di dalamnya. Dari mulai kehilangan orang yang kita cintai, hingga bangkrutnya usaha bisnis banyak orang, menyaksikan banyak toko-toko dan usaha berguguran satu persatu. COVID-19 menciptakan sebuah luka yang sangat mendalam, yakni kesulitan ekonomi yang membuat banyak orang menderita.
Kita sama-sama telah mengetahui, bahwa sekarang ini tengah ramai dibicarakan soal Fintech P2P Lending atau akrab disapa sebagai Pinjol (Pinjaman Online). Pinjol atau Pinjaman Online ini merupakan salah satu opsi alternatif dari masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di tengah kehidupan yang carut marut seperti ini, lapangan pekerjaan nampak susah untuk dicari bak mencari jarum di dalam jerami, Pinjol menjadi satu-satunya harapan mereka untuk mencukupi segala keperluan.
Namun, disini letak permasalahannya. Seringkali kita melihat bahwa Pinjol menawarkan pinjaman yang murah, cepat dan dana yang bisa dicairkan tergolong tinggi. Tidak seperti di Bank, jika kita ingin melakukan peminjaman, maka pihak Bank, atau Leasing jika hendak melakukan kredit kendaraan, akan melakukan survei terlebih dahulu kepada calon nasabah yang hendak akan melakukan pinjaman. Namun berbeda dengan Pinjol. Pinjol, hanya bermodalkan KTP, dan Foto Selfie saja, bisa dengan mudah mencairkan dana yang besar kepada nasabah nya dengan cepat.
Tapi, ada harga yang harus dibayar dalam kemudahan itu, yakni "Bunga" pinjaman yang sangat tinggi dengan jangka waktu yang sangat pendek. Ini merupakan titik permasalahan yang saat ini dialami oleh banyak orang karena kebanyakan dari para peminjam tidak sanggup untuk mengembalikan jumlah uang yang mereka pinjam dari pihak Pinjaman Online karena "Bunga" yang sangat besar dibebankan kepada nasabah dengan tenor yang sangat pendek.
Menurut pemaparan dari CNBC, mengatakan bahwa mayoritas pinjaman yang dilakukan di Pinjaman Online (Pinjol) adalah pinjaman yang bersifat konsumtif. Dengan kata lain, mayoritas peminjam yang melakukan pinjaman melakukan hal tersebut demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mayoritas peminjam yang melakukan Pinjaman Online adalah kalangan menengah ke bawah yang kebanyakan tidak memiliki atau kurang dalam hal literasi keuangan, mengingat kebanyakan yang melakukan peminjaman secara pendidikan masih "kurang".
Ini adalah permasalahan yang sangat rumit, kalut, banyak orang yang berkutat dan akhirnya terjerat oleh hutang pinjol. Belum lagi, apabila mereka mengalami permasalahan dalam hal pembayaran, seringkali mereka dihadapkan dengan situasi penagihan yang sangat berat. Penagihan yang dialami oleh para nasabah biasanya dilakukan oleh para "Debt Collector" yang menurut aturan dari OJK, merupakan pihak ketiga dari perusahaan pemberi dana untuk melakukan penagihan kepada penerima dana.Â
Debt Collector atau kerap disingkat sebagai DC, merupakan dilema tersendiri di tengah masyarakat. DC, ibarat adalah sebuah momok menakutkan bagi sebagian orang yang terlambat atau tidak mampu membayar pinjaman kepada pihak Pinjaman Online. Seringkali, kita melihat di Media Sosial kita tentang bagaimana para "DC" ini melakukan penagihan kepada nasabah nya dengan cara yang sangat kasar, bahkan seringkali diwarnai dengan adanya ancaman dan teror yang dilakukan kepada nasabah. Tidak jarang ancamannya bermacam-macam, dari mulai hendak dipermalukan di media sosial atau seluruh anggota keluarganya, hingga ancaman pembunuhan yang akan menimpa si nasabah jika mereka tidak dapat membayar hutang-hutang nya.
Perihal penagihan pihak ketiga atau perusahaan Pinjaman Online yang bersangkutan sebetulnya telah diatur dalam bab penjelasan pasal 104 POJK Nomor 10/POJK.05/ 2022 tentang penagihan yang dilakukan baik oleh pihak Pinjaman Online yang bersangkutan, maupun pihak ketiga alias Debt Collector, bahwa penagihan yang dilakukan oleh kedua pihak kepada nasabah tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan seperti pemaksaan, pemerasan, pengancaman baik secara fisik maupun verbal, kekerasan secara fisik maupun verbal serta tidak dilakukan penagihan secara terus menerus yang bersifat mengganggu keamanan dan kenyamanan nasabah.
Namun, kenyataan seringkali berbanding terbalik dengan apa yang tertulis di atas kertas. Penagihan yang dilakukan oleh pihak Pinjaman Online atau pihak ketiga, bisa kita lihat dengan mata dan kepala kita di Sosial Media kita masing-masing, kebanyakan diwarnai dengan aksi intimidasi, pengancaman, bahkan sebagian ada yang melakukan tindakan kekerasan baik secara fisik maupun mental. Bahkan tidak jarang, akibat mengalami ancaman-ancaman yang seperti itu, ada nasabah yang sampai menghabisi hidupnya sendiri karena merasa sudah tidak kuat menjalani hidup akibat mengalami "Teror" yang dilakukan oleh pihak Pinjaman Online ataupun pihak ketiga yang bersangkutan.
Diharapkan kepada pemerintah, agar peristiwa seperti ini tidak terulang kembali. Juga, menurut pandangan pribadi, Pinjaman Online ilegal memang harus dibasmi, namun Pinjaman Online Legal juga perlu di uji kelayakannya. Mengingat, sudah banyak kasus-kasus pengancaman hingga intimidasi yang dialami para nasabah yang sudah tidak lagi mampu membayar pinjaman online nya. Selain itu juga, pemerintah diharapkan memperketat regulasi, serta pengawasan kepada pihak penyelenggara Pinjaman Online tersebut agar tetap pada peraturan dan tidak menetapkan bunga yang tinggi dengan jangka waktu yang pendek. Â