Sejauh ini masih ramai diberitakan mengenai Partai Golkar yang bergabung dengan koalisi bentukan Partai Gerindra untuk mendukung pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Prabowo-Hatta. Ramainya pemberitaan ini karena mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla menjadi pasangan Cawapres bagi Jokowi yang didukung oleh koalisi bentukan PDIP. Tentu saja, dibalik semua ini sudah ada perhitungan matang dalam memberi dukungan.
Sebelum pemberian dukungan, Partai Golkar sudah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) untuk menentukan sikap usai serangan isu terhadap partai berlambang pohon beringin tersebut. Beberapa keputusan yang dihasilkan yaitu tetap mengusung Aburizal Bakrie (ARB) menjadi Capres maupun Cawapres, memberikan mandat kepada ARB untuk menentukan arah koalisi dan kebijakan politik dalam menghadapi Pilpres kali ini.
Sejauh ini, ARB sebagai pemegang mandat sudah melakukan segala upaya dengan baik dan terarah sesuai dengan putusan Munas. Keputusan merapat pada koalisi bentukan Gerindra pun bukanlah keputusan pribadi, namun sudah terlebih dahulu dibicarakan dengan petinggi Partai Golkar. Sangat aneh rasanya jika dikatakan keputusan ini mutlak sebagai keputusan pribadi dari ARB yang tidak benar, karena sebelum keputusan ini keluar pun sudah ramai diberitakan berkumpulnya petinggi-petinggi Partai Golkar untuk membahas mengenai arah koalisi.
Selain itu, ARB sebagai pemegang mandat untuk menentukan arah koalisi juga sudah meminta petunjuk terlebih dahulu. Sebelum memutuskan arah koalisi, ARB melakukan salat istikharah (petunjuk) dan tahajud terlebih dahulu untuk menentukan keputusan dukungan. Usai melakukan salat tersebut, menurut ARB petunjuk yang disampaikan mengarah kepada koalisi Partai Gerindra dan pasangan Prabowo-Hatta. Sebenarnya merupakan hal yang mulia jika kita dapat meminta petunjuk dari Allah sebelum kita mengambil sebuah keputusan.
Selanjutnya, ARB juga mengakui bahwa pasangan Prabowo-Hatta merupakan pasangan yang ideal. Seperti yang kita ketahui bersama, Prabowo sebagai Calon Presiden merupakan lulusan militer yang pernah menjabat sebagai Danjen Kopassus. Tentu saja, ketegasan dan nasionalisme dari seorang lulusan militer dan mantan Danjen Kopassus tidak perlu dipertanyakan dan hal inilah yang menurut ARB diperlukan untuk stabilitas bangsa Indonesia dan membuat rakyat tenang.
Sementara itu untuk Hatta, tidak perlu dipertanyakan lagi pengalamannya dalam pemerintahan. Sebagai mantan Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua. Sementara pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama, Hatta Rajasa menjabat sebagai menteri perhubungan. Oleh karena keserasian inilah yang juga membuat ARB memberikan dukungan terhadap pasangan Prabowo-Hatta dan koalisi bentukan Partai Gerindra.
Dukungan yang dibawa oleh ARB bersama Partai Golkar pun bukanlah dukungan transaksional. ARB bersama Partai Golkar tidak meminta syarat apapun untuk mendukung koalisi ini. Jika memang suara rakyat adalah suara Golkar, maka untuk apa Partai Golkar melakukan dukungan transaksional atau meminta syarat apapun? Semua ini dilakukan oleh ARB dan Partai Golkar demi kepentingan rakyat bersama, karena biar bagaimanapun suara Partai Golkar adalah suara rakyat.
Oleh karena itu, rasanya aneh jika sekarang banyak yang menyudutkan seorang ARB. Jika apa yang diputuskan ARB sudah melalui mekanisme, pembicaraan dengan petinggi-petinggi Partai Golkar, dan sesuai dengan putusan Munas yang terakhir, untuk apa ARB tetap disudutkan? Apakah memang suara ARB ini dapat menentukan pemenang pada Pilpres kali ini? Sebenarnya yang perlu diingatkan kembali adalah, dukungan yang diberikan ARB ini berawal dari petunjuk seusai melakukan salat. Partai Golkar melalui Ketumnya ARB, memutuskan bergabung dengan koalisi Partai Gerindra dan mendukung Prabowo-Hatta karena mendapatkan ilham dari Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H