Dewasa ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai realitas ketidakadilan dan dekadensi moral yang semakin memprihatinkan. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia mendapat skor 34 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2023, menandakan tingginya tingkat korupsi di berbagai lini pemerintahan dan sektor publik. Fenomena ini menciptakan ketimpangan sosial yang signifikan, di mana kelompok kecil menikmati kemewahan sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kemiskinan.
Selain itu, pergaulan bebas, terutama di kalangan generasi muda, telah menjadi isu moral yang mendesak. Berdasarkan survei dari Komnas Perempuan, terdapat peningkatan laporan kasus kekerasan seksual dan kehamilan remaja sebesar 14% pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya krisis moral yang tidak bisa lagi dianggap sepele. Media sosial, yang semestinya menjadi sarana edukasi dan komunikasi positif, sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan gaya hidup hedonis yang justru memperburuk keadaan.
Tidak hanya itu, ketimpangan hukum sering kali menjadi penyebab kekecewaan rakyat. Sebagian besar masyarakat merasa hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, sebagaimana terlihat dari berbagai kasus besar yang melibatkan elit namun berakhir tanpa hukuman yang setimpal.
Ketidakadilan sosial dan dekadensi moral ini memperlihatkan bahwa tatanan kepemimpinan saat ini belum mampu menjalankan perannya secara ideal. Dalam konteks ini, ulama dan penguasa memiliki tanggung jawab besar untuk memperbaiki keadaan, mengingat keduanya memegang posisi strategis dalam membentuk moral dan arah kehidupan masyarakat.
Moral masyarakat sangat dipengaruhi oleh sikap dan tindakan para pemimpin, baik itu ulama maupun penguasa. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Dua golongan dari manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik. Tetapi jika mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Mereka adalah ulama dan penguasa" (HR. Abu Naim).
Peran dan Tanggung Jawab Ulama dan Penguasa
Ulama memiliki tugas besar menyampaikan kebenaran Islam, menuntun umat untuk hidup sesuai ajaran agama, dan menegur mereka yang menyimpang. Sementara itu, penguasa bertanggung jawab melindungi rakyat, menegakkan keadilan, serta memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai prinsip-prinsip keislaman.
Namun, kenyataannya, sikap mereka tidak selalu ideal. Ada ulama yang dengan tulus mendidik umat, berbudi pekerti luhur, dan berani menasihati penguasa zalim agar kembali ke jalan yang benar. Begitu pula ada penguasa yang bijak, mencintai keadilan, dan benar-benar peduli pada rakyatnya, bahkan rela mengorbankan waktu demi membela Islam.
Sayangnya, tidak jarang kedua golongan ini menyimpang jauh dari peran idealnya yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat. Contohnya, ada ulama yang memilih untuk pasif dan hanya diam saat menyaksikan ketidakadilan di sekeliling mereka. Alih-alih memberikan nasihat atau meluruskan yang salah, mereka malah membiarkan ketidakbenaran terus berlangsung tanpa upaya berarti untuk mencegahnya. Lebih ironis lagi, ada pula ulama yang justru mendukung kebijakan penguasa yang zalim, bahkan menjustifikasi tindakan yang merugikan rakyat demi keuntungan pribadi, seperti memperoleh kekuasaan atau kekayaan.
Kondisi ini memperparah kerusakan moral masyarakat secara signifikan. Ketika ulama yang seharusnya menjadi suara kebenaran memilih bungkam atau condong kepada kebatilan, masyarakat kehilangan figur yang mampu memberikan panduan moral. Akibatnya, masyarakat cenderung semakin acuh terhadap nilai-nilai kebaikan, menjadikan ketidakadilan sebagai sesuatu yang dianggap wajar, bahkan mendukung perilaku yang menindas. Hal ini semakin mempersulit upaya memperbaiki tatanan sosial dan memunculkan risiko ketidakstabilan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, kekecewaan rakyat terhadap ulama semacam ini membuat mereka berpaling dari ajaran agama, sehingga mengikis kepercayaan terhadap agama sebagai landasan kehidupan.