Sikap yang diambil oleh Partai Demokrat pada Pilpres 2014 merugikan kubu calon Prabowo-Hatta. Hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Indo Barometer pada tanggal 28 Mei – 4 Juni 2014. Survei dilaksanakan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden sebesar 1200 orang (margin of error sebesar ± 3,0% pada tingkat kepercayaan 95%). Responden dipilih dengan metode multistage random sampling untuk menghasilkan responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa Indonesia(berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan). Pengumpulan data dengan wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner.
Salah satu alasan mengapa mengapa Jokowi-JK masih mengungguli Prabowo Hatta adalah belum maksimalnya mesin politik Pendukung Prabowo-Hatta. Pada dasarnya yang menjadi salah satu kekuatan Prabowo-Hatta yang dapat dijadikan jalur mengejar ketertinggalan adalah mesin politik partai pendukungnya. Jika mesin partainya bekerja maksimal maka akan berpotensi untuk mengungguli Jokowi-JK. Tampaknya, dukungan maksimal dari partai pendukung Prabowo-Hatta yang maksimal baru dari Gerindra. WalaupunPrabowo – Hatta unggul di pemilih anggota partai koalisi PKS, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, dan PKPI partai pengusung Jokowi-JK. PKPI base linenya hanya 0,2% Sementara dukungan dari Partai Golkar – salah satu anggota koalisi terbesar dengan base line 15,4%– belum melewati angka 50%. Dari 15,4% base line pemilih Golkar hanya 43,2% yang memilih Prabowo Hatta. Pemilih Golkar terbelah. Begitu juga pemilih partai koalisi yang lain walaupun sudah melewati angka 50%. Seperti PKS dengan base line 3,2 % yang memilih Prabowo Hatta 52,8%, PAN yang nota bene adalah partai Hatta Rajasa dengan base line 2,4 yang memilih Prabowo-Hatta hanya 55,6%, PPP dengan base line 2,4 yang memilih Prabowo Hatta hanya 51,9% dan pemilih PBB yang base line paling kecil 0,2% pemilihnya terbelah dua 50% ke Prabowo Hatta dan 50% ke Jokowi JK.
Namun kasus yang mirip sesungguhnya juga dialami oleh Jokowi-JK. Dukungan maksimal baru datang dari PDIP dengan base line 29,2% yang memilih Jokowi JK 83,8%. Jokowi – JK unggul di pemilih Nasdem, PKB, PDIP, Hanura. Di pemilih Nasdem base line 3,9% yang memilih Jokowi JK baru 53,3%, PKB base line 6,7% yang memilih Jokowi JK 65,8% dan Hanura base line 3,1% memilih Jokowi JK 45,7%.
Dukungan dari partai koalisi yang terbelah relative bersaing ada di Golkar, PPP, Hanura dan PBB. Belum maksimalnya dukungan masing-masing partai pengusung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK harap bisa dimaklumi karena untuk menggerakkan mesin partai yang nota bene capresnya bukan dari partai itu sendiri berat untuk bisa diharapkan maksimal. Karena kita tahu bahwa selama ini yang disosialisasikan ke pemilih capresnya Golkar adalah Ical, capresnya Hanura adalah WIN-HT, capresnya Nasdem adalah Surya Paloh begitu juga partai yang lainnya jauh sebelum berkoalisi. Jadi untuk mengharapkan suara dari pemilih partai lain dengan maksimal relative berat dan tidak bisa dipaksakan karena tidak ada keterkaitan ideologis dan keterkaitan emosional yang kuat. Ditambah lagi elit-elit partainya juga banyak yang menyeberang ke kubu lawan. Hal itu terlihat jelas di Golkar, ada elit-elit Golkar yang secara terbuka menyeberang ke kubu Jokowi-JK, PPP juga terlihat tari menarik yang terjadi sebelum dukungan resmi ke Prabowo Hatta dan Hanura terlihat dengan menyeberangnya Harry Tanoe selaku cawapres dan Ketua Bapilu Partai Hanura ke kubu Prabowo-Hatta. implikasinya terlihat di hasil survey yang dilakukan Indo Barometer. Jika kita berkaca pada Pemilu 2004 dimana Hamzah Haz merupakan ketua umum PPP yang dicalonkan oleh PPP dengan kekuatan partai 9% hanya mendapat suara 6%. Artinya, walaupun presidennya dari partai bersangkutan juga tidak ada jaminan untuk mendapatkan suara mutlak dari pemilih partai tersebut. Apalagi calon presidennya bukan dari partai yang sama dengan pemilih. Jadi sekali lagi saya katakan Prabowo dan Jokowi tidak bisa marah jika suara yang didapatnya tidak maksimal dari partai koalisi.
Menarik untuk dicermati, Partai Demokrat yang tidak secara resmi bergabung dengan salah satu koalisi ternyata mayoritas pemilihnya cenderung ke Jokowi-JK. Partai Demokrat yang base line pemilihnya nya 7,2% dan pemilih democrat yang memilih Jokowi JK sebesar 47,6% sedangkan ke Prabowo Hatta 36,6%. Jika ini terus terjadi dan Partai Demokrat tetap mengambil sikap netral jelas sangat merugikan kubu Prabowo Hatta. Dengan kondisi ini, dmana Prabowo Hatta masih ketinggalan sekitar 13,4% bukan suatu yang mustahil dan terlalu dini untuk kita menganggap Prabowo Hatta telah kalah. Perlu diingat bahwa politik adalah dinamis di mana yang di bawah bisa mengejar yang di atas. Namun harus diingat bahwa untuk bisa mengejar diperlukan usaha yang ekstra-keras. Untuk mengejar, usaha yang harus dikeluarkan pihak pengejar jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan pihak yang dikejar. Karena jika usahanya lebih kecil atau sama saja, maka yang di depan akan masuk garis finis duluan. Dengan sisa waktu maka Tim Prabowo Hatta harus kerja ekstra keras untuk mengoptimalkan mesin partai pengusungnya dan yang kedua memperoleh dukungan dari partai Demokrat.
Catatan: data ini diambil dari hasil survey yang dilakukan tepat sebelum masa kampanye, jadi sejauh mana efek dari dukungan fraksi Demokrat di DPR dan sejauh mana efek dari gerakan partai pengusung dan kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon kita tunggu hasil release survey selanjutnya.
Jika tidak ada gerakan yang massif serta luar biasa yang dilakukan oleh kubu Prabowo Hatta melebihi gerakan yang dilakukan oleh kubu Jokowi JK maka Jokowi JK akan menang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H