Sebagai kalangan akademisi di perguruan tinggi, rasanya sudah tidak asing dengan pemandangan bangku depan kosong. Hal ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang rasa-rasanya akan terus berlanjut ila yaumil akhir. Lantas, faktor apa yang menjadikan mahasiswa seperti itu? berikut penjelasannya!
1. Tidak Mau Dianggap "Ambis"
Ambis merupakan istilah yang biasa disematkan atau dilaqobkan kepada mereka yang terlalu serius, tekun, atau ingin nampak berbeda di mata dosen. Bagi sebagian mahasiswa, stigma "ambis" merupakan stereotipe yang bisa membuat mereka merasa dikucilkan. Karena banyak yang memiliki perspektif bahwa mahasiswa yang ambis lebih cenderung memikirkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan kelompok atau orang lain.Â
Oleh karena hal itu, banyak mahasiswa yang sebetulnya aktif di kelas memilih duduk dibelakang daripada duduk di depan namun dicap sebagai orang yang ambis.
2. Karena Lebih Suka Main HP
Daripada mendengarkan temannya presentasi, mahasiswa justru cenderung memilih HP untuk bahan menyimak. Bahkan tidak jarang, banyak pertanyaan-pertanyaan ghoib yang didebatkan. Hal ini karena banyak mahasiswa yang bingung mau bertanya atau menganggap pertanyaannya kurang menarik, sehingga mereka menggunakan HP untuk membantu mencarikan pertanyaan yang tepat kepada presentator melalui berbagai software. Sehingga, kehadiran Artificial Intelligence (AI)Â seperti ChatGPT, membuat mahasiswa semakin masif menggunakan HP dalam diskusinya. Kejadian seperti ini sangat disayangkan, hal tersebut dapat membuktikan bahwa sebenarnya yang adu argumen adalah robot, bukan karena analisa kritis dari mahasiswa itu sendiri.
3. Merasa Aman dan Nyaman di barisan Belakang
Kebiasaan tidak suka ditanya dan bertanya nampaknya berdampak pada pola kebiasaan. Mahasiswa cenderung melakukan berbagai cara supaya tidak ditanyai oleh dosen, salah satu caranya adalah dengan memilih bangku di barisan belakang. Kebiasaan seperti ini yang menjadi tanda bahwa mahasiswa tersebut tidak memiliki jiwa leadership yang baik. Karena seorang pemimpin atau leader harus mampu menjadi contoh bagi anggotanya. Dalam artian, seorang pemimpin harus percaya diri untuk tampil di depan sebagai contoh anggotanya.
4. Tidak Ada Sistem yang Mendorong Disiplin
Regulasi atau sistem merupakan aturan yang menjadi tolak ukur civitas akademika dalam melaksanakan kehidupannya di lingkungan kampus. Aturan yang mengikat tentu saja memberikan dampak yang sangat krusial dalam berjalannya perkuliahan. Beberapa hal memungkinkan menjadi langkah preventif dosen dalam perkuliahan seperti:
- Membatasi penggunaan HP di kelas. Pastikan bahwa penggunaan HP hanya boleh ketika terjadi kendala teknis seperti proyektor mati maupun gangguan teknis lainnya.
- Memberikan apresiasi bagi siapa saja yang duduk di depan. Apresiasi dari dosen sangat memotivasi mahasiswa untuk melakukan hal-hal yang disukai oleh dosennya.
- Memastikan siapa yang berangkat duluan dan harus duduk di depan sebagai contoh teman-teman yang lainnya. Duduk berdasarkan kehadiran, siapa yang paling akhir berangkat, maka sudah dipastikan mendapatkan tempat dibagian belakang.
Fenomena kursi paling depan yang kosong membuktikan bahwa ini  lebih dari sekadar preferensi tempat duduk. Hal ini merupakan cerminan budaya akademik yang perlu diperhatikan. Mahasiswa perlu menyadari bahwa duduk di depan bukan hanya soal ambisi atau gengsi, tetapi lebih kepada mengambil peran aktif dalam pembelajaran.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H