[caption id="attachment_94425" align="alignleft" width="300" caption="sedikit langkah nyata - dok.cechgentong"][/caption]
Bakti sosial, atau bakti lingkungan, atau apapun namanya, adalah kegiatan yang kami gagas sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan kopdar II di TIM. Tidak ada tujuan untuk menjadi pahlawan sama sekali, namun murni untuk memberikan sedikit kontribusi dari kami bersama-sama. Daripada kami melaksanakan kopdar yang Cuma diisi obrolan-obrolan tanpa makna, maka kami mencoba melakukan sesuatu yang berbeda. Terjun langsung menginjak tanah, menyusur sungai hingga tak terasa pakaian sedikit basah.
~hs~
Berangkat dari kaki Gunung Manangel hari sabtu pagi, saya sengaja bertandang ke Jakarta kembali. Segala ketakutan dan trauma tentang kota kapital negeri ini, saya singsingkan. Saya memilih pagi untuk menghindari macet di kawasan puncak. Karena hari sabtu adalah tempatnya orang-orang kota besar hijrah ke daerah-daerah yang adem seperti puncak, cipanas, dan sekitarnya. Ah, memang saya salah prediksi, ternyata saya tetap terkena imbas orang-orang yang sedang berlibur itu. macet.
Saya sengaja bermalam di kota besar yang berhawa tidak ramah bagi saya tersebut. Sempat keder dan ketar-ketir juga malam minggu di Jakarta. Bukan karena saya jarang berkunjung ke tempat-tempat keramaian, tapi karena teman yang mau saya kunjungi tidak bisa ditelepon. Kebingungan tapi akhirnya menyenangkan. Fiuhhh, perjuangan! Perjuangan demi memberikan sedikit kontribusi untuk sebuah kawasan konservasi hutan bakau bernama Muara Angke.
Hari minggu pagi, sekitar pukul tujuh, sang panitia Jimmorison menelepon saya. Seperti biasa, menanyakan posisi saya ada dimana. Menteng, tepatnya daerah kalipasir menjadi tempat transit melepas penat saya dan bermalam di tempat kost teman semasa SMA dulu. Cukup berjalan kaki sepuluh menit ternyata, saya bisa sampai di TIM pagi-pagi. Satu demi satu kami berkumpul, tapi sayang ada keterlambatan bus yang datang menjemput kami. Kebersamaan! Itulah yang kami ciptakan ketika kami berkumpul. Egaliter, semua sama. Sama-sama kompasianer. Sama-sama tukang baca, tukang tulis, tukang komentar.Tidak ada beda. Kami bersatu dalam sebuah bis yang terbilang cukup sederhana namun tangguh. Mengantar kami menuju titik bernama Muara Angke.
[caption id="attachment_94430" align="alignright" width="300" caption="sisi lain muara angke - dok.pribadi"][/caption]
Kegiatan pun dimulai di Muara angke. Terbagi tiga kelompok, kami berkegiatan dengan dipandu oleh teman-teman JGM. Jakarta Green Monster. Monster? Takut kah? Ternyata Tidak. Semua pemandunya masih muda. Spirit indie terlihat pada diri mereka. Ferdi xn yang memandu untuk bekerja sama antara JGM dan kami. Susur pantai, hutan bakau, dan nanam bibit pohon bakau, menjadi agenda utama kami.
We o we… wow. Tempat yang seharusnya indah, terlihat kumuh dengan pemandangan sisi kiri sungai. Itu kesan yang saya tangkap manakala menyusuri sungai Angke untuk pertama kali. Tampak keren dengan menggunakan pelampung melekat di badan. Padahal sebelumnya ketar-ketir, khawatir, karena renang adalah olah raga yang tidak saya bisa meskipun pernah beberapa kali belajar.
“Amankah?” saya bertanya pada pihak JGM.
[caption id="attachment_94433" align="alignleft" width="216" caption="pulau kecil? bukan, itu tumpukan sampah - dok.pribadi"][/caption]
Anggukan mantap, membuat saya mantap ikut melaju bersama perahu karet. Sayang, perjalanan susur sungai itu terganggu dengan pemandangan dan bau yang tidak sedap. Perkampungan kumuh yang tidak tertata, sempat digusur katanya, dan bau sesuatu harus menjadi santapan kami,s elain matahari yang membakar kulit hitam saya. Lebih disayangkan, sungai tersebut telah tercemar sampah yang luar biasa banyak. Saya coba amati, kebanyakan adalah bungkus mie instant, kopi instant, dan plastik-plastik serta Styrofoam yang sulit terurai. Semuanya mengalir menuju laut. Duh!
Susur hutan bakau, terasa eksotik karena kami berjalan diatas jembatan kayu sepanjang 800 meter. Beberapa kali kami berpapasan dengan teman-teman dari komunitas fotografi yang sedang melakukan sesi pemotretan. Kreatif menurut saya, terutama pose dari sang model yang kami lalui ketika menyusur hutan mangrove tersebut. Pemandangan kontras lainnya adalah, bahwa kawasan konservasi yang kini hanya seluas 25,02 hektar tersebut bersebelahan dengan kopem alias kompleks perumahan elit dan mewah. Sangat kontras, dimana satu sisi terdapat gedung-gedung kokoh menjulang, sedangkan disebelahnya kawasan hijau sempit yang menjadi kawasan konservasi.
Makan siang sejenak, diskusi dua jenak, dan haha hihi sebentar lumayan mengobati rasa letih dan bau matahari di rambut kami. Saatnya turun ke rawa.
“beruntung semalam tidak hujan. Kalau hujan, agak becek.” Demikian komentar seorang teman JGM. Ramai-ramai kami turun ke tempat penanaman bakau. Bibit yang sudah tersedia, kami keluarkan dari polybag kemudian kami tanam. Disandarkan pada sebilah bambu dan diikat dua kerat tali rafia. Doa tulus menyertai semoga kelak bibit tersebut tumbuh, dan terus tumbuh. Baju dan celana yang turut terkotori, menjadi saksi bisu kami memberikan cinta kami pada alam ini.
Sungguh, kami tidak ingin jadi pahlawan. Hanya saja kami ingin sedikit berkontribusi dengan aksi nyata sederhana yang mudah-mudahan bisa membawa kami pada perjalanan untuk selalu menebar cinta pada alam ini.
[caption id="attachment_94437" align="aligncenter" width="499" caption="tanam bibit bakau - foto: dok. syamsul asinar radjam, 2010."][/caption]
~hs~
Bahu membahu kami semua menggagas ide demi ide. Semoga kelak, dikemudian hari, kegiatan bakti lingkungan ini semakin sempurna. Sedikit langkah kecil jauh lebih berarti dibanding koar-koar besar yang tidak disertai tindakan nyata.
Apriori adalah sebuah bentuk kecenderungan negatif yang berusaha kami hindari.
Kaki Manangel, 1532010. (HS)
Notes: Didedikasikan untuk salah satu kawan yang telah menggelari pahlawan.
(ini adalah catatan awal, untuk beberapa catatan kedepan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H