Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawah Organik dengan Bokashi

29 Maret 2010   11:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih ingat dengan AP.Royani yang pernah saya tulis sekitar sebulan silam? AP. Royani yang akrab disapa Pak Ape ini merupakan salah satu pentolan FORESTA alias Forum Rehabilitasi Sungai dan Hutan. Sebuah forum yang digagas olehnya yang sadar dengan keadaan hutan di hulu sungai, yang terletak di kaki gunung Gede Pangrango, yang mulai gundul. Jika anda belum membacanya, silahkan klik tautan ini.

Hari ini, tanpa sengaja saya bertemu kembali dengannya. Sedikit lupa ketika saya sapa. Saya bertemu ketika saya berkunjung ke Desa Nagrak. Ternyata pak Ape adalah salah satu pengurus LPM di desa tersebut.

Lama tak bersua, saya pun membuka obrolan dengan memberi tahukan bahwa tulisan saya tentang usaha dia menghijaukan kembali hutan tidak menang di kompetisi NGA edisi satu. Dia pun hanya tersenyum dan menimpali:

“Belum rejeki. Tapi kenapa kamu tidak coba tulis lagi tentang kegiatan saya?”

Lho, apalagi memang kegiatan bapak?

“Saya kan juga menggagas pembuatan BOKASI alias KOMPOS.”

Menarik nih. Ternyata usaha pak Ape terhadap lingkungan tidak terbatas pada usaha menghijaukan hutan semata. Namun hidup organis pun sedang dia usahakan. Kami pun terlibat obrolan seputar usaha Pak Ape menggagas pembuatan pupuk organis berbahan baku alami.

“Saya melihat tekstur tanah di kita sudah mulai rusak karena penggunaan zat kimia. Kebetulan saya dipilih untuk ikut kegiatan pelatihan pembuatan bokasi, saya coba terapkan disini. Kami membuat di desa Talaga. Kami menyewa satu tempat di sana. Satu tahun sewa, Rp. 500.000.” pak Ape mulai bercerita.

“Pembuatan kompos ini menghasilkan sekitar 27 kubik kompos bokasi per produksi. Ini bisa mencukupi sekitar 10 hektar sawah. Untuk sementara kami hanya mendistribusikan bokasi ini untuk kebutuhan 16 anggota foresta saja. Alhamdulillah, sebagian anggota sudah melaksanakan sistem tanam semi organis.”

Kenapa semi organis pak?

“Iya, karena bahan baku bokasi belum mencukupi. Jadi kami masih menggunakan sebagian pupuk kimia untuk memberi nutrisi pada sawah kami.”

Memang, apa bahan-bahan pembuatan bokasi ini?

Pak Ape pun bercerita tentang bahan-bahan bokasi ini untuk menjawab pertanyaan saya.

“ Bahan baku bokasi adalah jerami, limbah jamur (limbah bahan baku media tanam jamur-pen), dan rumput.Selain itu, ada juga bekatul atau orang sunda menyebutnya huut. Dan tidak lupa POC alias pupuk organik cair sebagai media pembentuk bokasi. Kalau kita membuat tape kita butuh ragi, nah pada pembuatan bokasi ini kita butuh POC”

“Pertama-tama bahan baku dirajang halus. Kemudian jika sudah terkumpul menjadi rajungan halus, disemprot dengan POC.”

Pak Ape tidak memberitahukan berapa perbandingan antara POC dan Bahan yang tersedia.

[caption id="attachment_105490" align="alignright" width="128" caption="ilustrasi pembuatan bokashi - diambil dari mahabhomarga.org"][/caption]

“Yang penting jangan sampai terlalu basah. Cukup lembab saja. Jika diperes airnya tidak lagi mengalir atau ngucur.” Demikian jawaban pak Ape ketika saya menanyakan berapa perbandingan antara POC dengan Bahan baku bokasi.

“Biasanya, 1 liter POC dicairkan dulu dengan 4 liter air. Baru disemprotkan.” Tambahnya.

“Setelah itu kemudian ditaruh di sebuah tempat berukuran 1,5 m x 3 m x 1,5 m. kita simpan bokasi setebal 30 cm, lalu dilapisi dedak dan kohe (kotoran hewan-pen), lalu di bikin lagi lapisan kedua, dan seterusnya sampai lima lapisan.

“Jangan lupa, di bawah lapisan pertama, kita pakai sirkulasi berbentuk segitiga. Ini bertujuan supaya pematangan bokasi menjadi merata dari atas sampai bawah. Sirkulasi segitiga ini berfungsi sebagai sirkulasi udara yang berasal dari atas.” Demikian pak Ape menjelaskan secara runtut tentang bagaimana cara dia membuat bokasi.

Saya yang buta tentang bokasi, kini sedikit demi sedikit mulai mengetahui tentang pupuk organik ini. setelah saya bisa online saya mencoba mencari apa itu bokasi. Dan ternyata menurut literatur yang saya baca, bokasi ini berasal dari bahasa Jepang, Bokashi yang berarti bahan organik yang telah difermentasikan.

[caption id="attachment_105459" align="alignleft" width="150" caption="saya berfoto bersama pak Ape :D - dok.pribadi"][/caption]

Karena ketidak mengertian saya tentang bokasi, lantas pak Ape mencoba mengurai satu persatu tentang bahan-bahan dan katalis yang terlibat. Pak Ape menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan bokasi, dipakai POC sebagai bahan fermentasinya. Sedangkan untuk membuat POC dibutuhkan MOL (Mikroorganisme lokal). Kedua bahan ini pak Ape membuatnya sendiri.Mungkin di tulisan lain saya akan membahas tentang pembuatan MOL dan POC ala pak Ape.

Pak Ape kemudian bertutur tentang efektivitas penggunaan bokasi ini terhadap hasil produksi yang diperoleh. Menurut pak Ape, saat ini saja, meskipun masih semi organis, hasil produksi meningkat cukup baik.

“Jika tadinya hasil yang kami peroleh Cuma sekitar 8 ton per hektar, setelah menggunakan bokasi naik menjadi 10-11 ton per hektar.”

Padahal itu baru semi organis!

“Malah, di beberapa tempat yang sudah benar-benar menggunakan bokasi. Hasilnya meningkat pesat. Sebagai contoh jika menggunakan pupuk kimia biasa hasil yang diperoleh adalah sekitar 9 ton/hektar, maka menggunakan bokasi ini naik menjadi sekitar 18 ton/hektar.Proyek percontohan pada saat saya mengikuti pelatihan bokasi ini saya lihat di daerah Majalaya.” Demikian Pak Ape bertutur.

Ternyata penggunaan bokasi ini menghemat biaya produksi. Pak Ape bertutur membandingkan penggunaan pupuk kimia dan bokasi.

“Pupuk kimia, sekitar 4 kuintal per hektar yang digunakan. Belum termasuk efeknya terhadap tanah. Jika digunakan terus menerus akan mempengaruhi pH tanah. Dan setiap masa tanam, pupuk yang digunakan akan statis seperti itu. Tanah pun tidak lagi gembur. Menjadi lengket jika dicangkul.

“Sedangkan jika digunakan bokasi, untuk penggunaan pertama memang banyak. Sekitar 2,5 ton/hektar. Namun, ini Cuma penggunaan pertama saja. Pada saat musim tanam selanjutnya akan lebih hemat. Hingga tercapai pH seimbang tanah. pH 7 adalah pH seimbang. Namun bisa saja 7 kurang atau 7 lebih, itu masih ditoleransi.” Demikian Pak Ape menjelaskan panjang lebar.

Banyak keuntungannya juga ya pak menggunakan bokasi ini.

“Iya, setidaknya ada tiga keuntungan.” Pak Ape kemudian merinci keuntungan tersebut.

1. Hasil yang diperoleh meningkat 2. Biaya produksi hemat 3. Lebih sehat karena hasil yang diperoleh adalah organik. [caption id="attachment_105468" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi sawah - dok.pribadi"][/caption]

Beruntung sekali saya bertemu dengan pak Ape hari ini. Ternyata ada ilmu baru yang saya peroleh, yaitu tentang bokasi. Dan saya mereportasekan pengalaman saya hari ini untuk anda, teman-teman kompasiana dan para pembaca sekalian.

Untuk anda yang tertarik tentang bokasi, saya menyarankan untuk googling saja. Ada banyak artikel tentang bokasi di dunia maya ini.

~hs~

Memang untuk menjalankan pola hidup hijau, alias green life style, dibutuhkan konsistensi dari kita semua. Pak Ape, salah satu sosok yang saya angkat kali ini, telah berusaha untuk konsisten terhadap lingkungan disekitarnya. Termasuk terhadap lahan tanah yang kini makin kritis akibat penggunaan pupuk kimia. Semoga apa yang pak Ape lakukan bisa menulari petani-petani lain. (HS)

Kaki gunung manangel-29032010

Hadi – kompasianer yang baru tahu tentang bokashi :)

nb: POC = Pupuk Organik Cair

MOL = Mikro organisme lokal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun