Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna

15 Februari 2011   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297753397492769718

[caption id="attachment_90869" align="aligncenter" width="680" caption="Koleksi Hadi - HS.2011"][/caption] Man Jadda Wajadda Saya termasuk telat membaca “Negeri 5 Menara” karangan A. Fuadi. Bukan karena saya tidak punya uang untuk membeli novel tersebut, melainkan lebih kepada rasa suudzan saya yang menilai buku tersebut. Ah paling ngikutin jejak Hirata. Itu penilaian sekilas saya ketika buku best seller tersebut terbit. Namun rupanya semua penilaian saya berbalik 180 derajat setelah saya mencoba membaca buku tersebut. Novel yang berbeda yang sarat dengan nilai hidup dan kehidupan. Saya memberi apresiasi sepenuhnya atas nilai-nilai yang diajarkan oleh Fuadi dalam novel pertamanya. Sungguh saya menyesal telah menilai salah di awal terbitnya novel ini. Bukan untuk bermaksud membandingkan dengan penulis lainnya, namun setelah membaca N5M, saya benar-benar merasakan pengalaman yang berbeda. Ada tawa ceria yang membuat saya mesem-mesem sendiri ketika membacanya, dan juga ada rasa haru yang membuat dada saya berdesir-desir. Dan yang paling utama membuat saya terkesan dan bersedia memberikan penilaian sempurna untuk isi buku ini adalah petuah-petuah yang terkesan tidak menggurui yang sangat bernilai sekali buat saya. Novel ini mengisahkan Alif kecil remaja yang terpaksa harus mengubur impiannya untuk bersekolah di SMA umum. Alif membuat keputusan setengah hati untuk masuk pondok pesantren modern di tanah  jawa. Alif yang berasal dari lingkungan danau Maninjau, Bukit Tinggi Sumatera Barat, akhirnya bersekolah dan menuntut ilmu di Ponorogo Jawa Timur. Rupanya keputusan setengah hati Alif remaja adalah keputusan yang sungguh tepat. Didasari karena ingin menuruti petuah sang bunda, Alif menjelma menjadi remaja pintar di Pondok Modern Madani asuhan kyai Rais. Novel ini mengisahkan kehidupan pondok pesantren yang sama sekali berbeda dari stereotype pontren pada umumnya. Dalam perantauannya di Jawa, Alif dipertemukan dengan 5 orang yang akhirnya menjadi sahabat karib. Mereka adalah Dulmajid, Baso, Raja, Atang, dan Said. Ke enam orang inilah yang selanjutnya disebut Shahibul Menara karena kebiasaan mereka menghabiskan waktu istirahat di bawah Menara Mesjid. Di bawah menara itulah mereka bermimpi. Meskipun dalam perjalanannya, diceritakan bahwa Alif hampir berhenti dan berniat untuk tidak menyelesaikan pendidikannya di PM Madani, namun rupanya suntikan vitamin semangat dari kedua orang tua dan para guru membuat Alif berhasil menjadi satu dari sekian ratus murid PM yang berhasil menyelesaikan pendidikannya. Melalui kerja keras dan tekad baja mereka memelihara mimpi-mimpi mereka hingga akhirnya satu persatu impian mereka tercapai. Man Jadda Wajadda, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Itu yang mereka tanamkan dalam otak. Man jadda wajadda adalah kombinasi antara niat, kerja keras, serta ikhlas. Man Jadda Wa Jadda. Kalimat sakti yang membuat saya berhasil bangkit dari rasa pesimis untuk sesuatu yang sedang saya tempuh untuk saya raih. Betapa Fuadi telah berhasil menyuntikkan spirit dan semangat untuk berbaik sangka kepada Allah SWT, melalui kalimat tersebut, bagi para pembacanya. Saya adalah satu yang tersuntik spirit tersebut.

-hs-

Man Shabara Zhafira Setelah Menerbitkan Negeri 5 Menara, rupanya Fuadi membuat lanjutannya hingga tiga seri. Jadilah novel ini adalah trilogi. Untuk buku ke dua ini saya membelinya cepat-cepat karena takut kehabisan stock. Bisa dibayangkan, dalam 3 hari, Ranah 3 Warna yang merupakan buku kedua trilogi negeri 5 menara, sudah cetak ulang. Luar biasa. Jika buku pertama menceritakan kehidupan Alif remaja di Pondok Modern Madani, maka buku ke dua ini mengisahkan perjalanan Alif menggapai mimpinya ke Amerika seperti yang dia impikan ketika bersama-sama shahibul menara. Dalam buku setebal 474 halaman ini, Fuadi dengan energik menceritakan kisah hidup tokoh utama yang diambil dari kisah hidupnya selama menjadi mahasiswa di Unpad Bandung. Hidup adalah perjuangan. Begitulah kira-kira apa yang disampaikan Fuadi melalui sosok Alif Mahasiswa.  Di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi yang melilit keluarganya, Alif akhirnya lulus ujian penerimaan mahasiswa baru melalui jalur UMPTN. Alif yang tidak memiliki ijazah SMA umum, harus berjibaku menundukkan ujian persamaan terlebih dahulu sebelum akhirnya lolos UMPTN. Lagi-lagi, di sini, Fuadi menekankan Man Jadda WaJadda. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Dia membuktikannya melalui perjalanan Alif menembus UMPTN yang rasanya tidak mudah dilalui. Pada bagian selanjutnya, Alif hidup di perantauan. Bandung. Bersama sahabatnya sejak kecil, Randai, Alif mengembara untuk menuntut ilmu di salah satu universitas negeri di Bandung. Berbagai ujian dan cobaan datang silih berganti padanya. Alif berjuang membanting tulang untuk kuliahnya. Apalagi setelah meninggalnya tokoh ayah yang selama hidupnya terbilang sangat dekat dengan Alif. Jadilah Alif berusaha keras untuk menghidupi dirinya selama di Bandung. Segala macam usaha ia lakoni untuk menghidupi dirinya. Mulai dari berjualan door to door, hingga akhirnya menjadi kolumnis tetap di beberapa media di Bandung. Selain Man Jadda Wajadda, rupanya Fuadi juga ingin memberikan suntikan spirit lainnya melalui kalimat Man Shabara Zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Dengan melebihkan usaha di atas rata-rata, kemudian berdoa,  serta bersabar, maka manisnya hasil usaha akan diraih di kemudian hari. Dalam ranah 3 warna ini akhirnya Alif berhasil menjejak tiga benua yang berbeda. Melalui Man Jadda Wajadda dan Man Shabara Zhafira, Alif berhasil menggapai apa yang ia mimpikan. Dalam penutupnya, Fuadi menuliskan kalimat yang saya yakin akan membuat anda terinspirasi. Berikut saya kutipkan sebagian kalimat penutup dari Fuadi. “ … Mantra Man Jadda Wajadda saja ternyata tidak cukup. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan. Tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun. Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin., bahkan seakan-akan itu adalah sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih. Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walaupun hidup sudah digelung dengan  nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilhkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar. Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu. Dan Alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu. Man shabara zhafira, siapa yang sabar akan beruntung.” (A. Fuadi:2011. P 468-469) Buku ini mengandung banyak sekali ilmu dan hikmah yang akan membuat semangat anda kembali meletup. Inspiratif menurut saya. Anda tak akan rugi meluangkan waktu demi membacanya, dan menyisihkan uang untuk membeli bukunya.(HS) Kakimanangel-hari maulid Nabi SAW 2011.15022011 dimuat juga di blog HS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun