Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menilai Buku dari Jilidnya Saja? Jangan Deh...

23 November 2010   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12904868411131677685

Itu adalah alih bahasa versi saya dari peribahasa inggris Never judge a book by its cover. Tulisan ini tidak akan menyinggung bahasan tentang bagaimana cara memilih buku, atau menilai sebuah buku berdasarkan tampilan luarnya. Tulisan ini hanyalah catatan saya berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang memberikan pelajaran hidup untuk saya sendiri yang terkait dengan peribahasa tersebut. Mudah-mudahan bisa memberikan ‘sesuatu’ juga untuk anda yang tengah membaca.

-hs-

[caption id="attachment_76711" align="alignleft" width="227" caption="dok. pribadi"][/caption] Kita kadang selalu menilai seseorang berdasarkan tampilan luarnya saja. Ada alasan yang kuat memang ketika kita melihat seseorang dari tampilannya. Ketika kita melihat seseorang yang berpakaian rapih, kadang berdasi, setidaknya kita akan menilai orang tersebut sebagai eksekutif di sebuah perusahaan. Namun siapa sangka jika ternyata itu adalah tampilan untuk mengelabui bahwa dia adalah pencopet? Itu pernah terjadi di salah satu angkutan kota berdasarkan penuturan paman saya yang seorang sopir angkutan umum.

Atau pernahkah anda membaca kisah-kisah pribadi seorang penulis yang juga kompasianer bernama Pipiet Senja? Saya membaca dari beberapa catatannya yang menceritakan tentang beberapa kondisi yang mengharuskan dirinya banyak mengelus dada karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika berkunjung ke rumah sakit untuk mengobati penyakit yang sedang menderanya.

Dalam salah satu catatannya, Bunda Pipiet yang selalu berpenampilan penuh kebersahajaan ini menceritakan bahwa Selamaberpuluh tahun berobat di rumah sakit, tak jarang ia diperlakukan semena-mena. Mulai dari dibentak petugas, dicuekin dokter, sampai ditempatkan di koridor UGD saat menjalani transfusi darah. Bahkan suatu hari ketika dia sampai di UGD, bukannya segera diberi pertolongan malah ditanya, “Ini jaminannya apa?” bahkan tidak jarang petugas berdalih, “Tak ada tempat, lagi penuh, pindah saja ke rumah sakit lain!”.

Padahal jika para petugas RS itu tahu berapa ratus karya Pipiet Senja di dunia perbukuan, mungkin dia akan menilai lain. Tapi bukan Pipiet Senja jika ia tidak tegar. Semua dikembalikan lagi pada-Nya dan Pipiet tidak protes dengan perlakuan seperti itu. Dengan besar hati bunda pipiet (mungkin) menjawab:

“Mungkin mereka tidak tahu.”

-hs-

Kita mungkin pernah berada pada fragmen kehidupan seperti yang dialami Pipiet Senja. Sebuah episode kehidupan dimana diri kita dipandang sebelah mata oleh orang lain. Sebuah keadaan dimana kita dinilai berdasarkan tampilan luar semata. Sebuah potongan proses hidup dimana kita dinilai berdasarkan stigma orang-orang yang sudah dicap negatif. Sungguh sebuah fragmen kehidupan yang tentu saja tidak mengenakan bukan? Ketika apa yang sudah kita lakukan tidak bernilai di hadapan orang lain, hanya karena orang tersebut menilai cangkang kebersahajaan yang kita pakai.

Tapi kita tidak usah risau,dengan cara mereka memandang kita dengan sebelah mata, itu berarti mereka tidak menggunakan hakikat panca inderanya, dan itu bisa berarti karena ketidak tahuan mereka saja. Tak perlu diambil hati. Biarkan saja selama cara pandang mereka terhadap kita tidak menjurus kepada fitnah yang bisa menjatuhkan diri kita. Hanya sebatas pandangan mereka saja yang mungkin menjadi sangkaan. Biarkan saja. Sekali lagi, tidak perlu kita mengambil hati untuk masalah tersebut.

Pun demikian dengan saya. Dari beberapa pengalaman dan pengamatan saya, seiring waktu saya berproses untuk tidak menilai orang dari tampilan luarnya saja. Banyak kawan saya turut andil dalam proses pendewasaan ini.

Menilai orang lain, sungguh kelihatannya merupakan hal yang mudah. Secara kasat mata dan tampilan fisik kadang kita langsung memberikan penilaian bahwa si A itu cantik, si B itu wajahnya rupawan, si C itu trendi dan modis, dan sebagainya.Kegiatan nilai menilai orang dari tampilan fisik ini kadang menjadi sebuah keasyikan tersendiri ketika dilakukan bersama teman-teman. Ketika ngumpul di café, duduk-duduk di selasar kampus, atau nangkring di kantin kantor, kemudian melihatorang lalu lalang, lantas kita ramai-ramai membicarakan orang lain, padahal belum tentu si orang yang dibicarakan tersebut sesuai dengan apa yang kita nilai.

Sebagai seorang yang belum mengetahui sisi sisi dari orang lain, rasanya tidak pantas kita memberikan penilaian bahwa si A itu Ganteng, si B itu Kaya, si C itu cantik. Ketidak pantasan ini hadir karena setiap manusia mempunyai dua sisi seperti halnya sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.Kelebihan dan juga kekurangan.

Setiap manusia yang tampak memiliki kelebihan segudang, pastilah dia mempunyai kelemahan. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang tampak biasa-biasa saja, pastilah memiliki kelebihan yang tersembunyi di balik sosoknya yang terlihat lemah.

Kita pun sama, pasti memiliki dua sisi tersebut. Kelebihan dan kekurangan. Sehingga sudah sepantasnya kita menghindari pemberian judgement atas sesuatu yang tampak sebagai kekurangan orang lain. Menilai orang lain berdasarkan kasat mata yang terlihat bukanlah sebuah kebaikan karena itu sama saja memandang sesuatu berdasarkan kulitnya saja. Berdasarkan tampilan luarnya saja. Bukan berdasarkan hatinya.

-hs-

Terkait dengan sebuah tulisan bernada mengecam dan menghakimi saya dari seorang penulis yang juga ibu rumah tangga bernama ibu Raia Aira, saya tidak mengambil pusing dengan hal itu. Adalah hal yang wajar bila ada seseorang yang menuliskan kejengkelannya di media publik seperti kompasiana. Yang menjadi masalah adalah ketika saya dan ibu Raia ini tidak saling kenal mengenal sama sekali. Saya merasa tidak ada masalah sama sekali. Tiba-tiba tak ada angin tak ada hujan, ibu Raia ini menulis bahwa saya suka ngatur orang? Hehehe….

Memang, saya akui, ini adalah imbas dari keisengan saya berkomentar di tulisan favoritnya ibu Raia. Siapa yang tidak jengkel, sih, ketika penulis favorit kita dikomentari hal yang menurut versinya tidak mengenakan? Saya juga pasti akan membela kok. Heuheuheu.

Kembali lagi pada judul yang saya pakai. Sebagai seorang yang masih dan terus akan belajar, saya menganggap ini adalah pelajaran. Bahwa candaan bisa saja diartikan lain oleh orang yang sedang sensitif. Sedangkan terkait penilaiannya terhadap saya, saya hanya akan berlaku seperti Bunda Pipiet saja. Mungkin karena dia belum kenal mengenal saja, maka dia mempublikasikan tulisan yang seperti itu.

Saya tak ambil pusing karena toh beberapa orang kawan baik saya di kompasiana hampir seratus persen tidak setuju dengan apa yang dituduhkannya. Itu karena kita sudah saling kenal mengenal. Setidaknya sudah saling tahu karakter satu sama lain. Saya sendiri tidak mempermasalahkannya karena saya merasa tidak ada masalah dengan orang bernama ibu Raia Aira ini. Mengenalinya pun tidak. Jadi untuk apa saya memperdebatkan hal yang tidak nyata kebenarannya. Bukan begitu,bukan? (bukaaaannn)

Semoga tulisan ini memberikan sedikit manfaat untuk anda sekalian, dan menjadi sebuah proses pendewasaan bagi saya. (HS)

Dinukil dari salah satu artikel yang belum terpublikasi yang ditulis februari 2010.

Kakimanangel, 22102010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun