[caption id="" align="aligncenter" width="655" caption="Dua buku yang dikirimi langsung oleh penulisnya - HS.2011"][/caption]
Ibu mana yang tak sayang pada anaknya. Bagaimanapun kondisi sang anak, adalah fitrah dan naluri seorang ibu untuk menumpahkan kasih sayang penuh terhadap anaknya. Tidak terkecuali Ibu Endang Setyati, ibu dari seorang anak berkebutuhan khusus, Habibie Afsyah, yang memilih untuk memberikan kasih sayang utuh untuk perkembangan anaknya yang divonis menderita penyakit yang menyerang sistem saraf dan otak kecilnya.
Melalui bukunya, Surga buat Habibie, Ibu Endang yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Habibie ini berbagi inspirasi untuk anda, para pencinta buku dan penggemar baca. Dalam buku setebal 327 halaman itu, Ibu Habibie berbagi kisah dan inspirasi tentang bagaimana membesarkan anak berkebutuhan khusus.
Habibie Afsyah, anak yang terlahir dari rahim Ibu Endang, mengalami penyakit yang dikenal dengan istilah muscular dystrophy. Penyakit yang dialami Habibie ini adalah penyakit yang menyerang otak kecil dan mengakibatkan kerusakan saraf. Akibatnya perkembangan motorik menjadi terganggu, otot-ototnya menjadi lemah dan lumpuh. Dan Habibie mengalami kelumpuhan permanen ini sejak lahir.
Dalam bukunya, Ibu Habibie menceritakan bahwa penyakit yang menyerang anaknya itu adalah satu dari sembilan jenis penyakit muscular dystrophi tersebut. Habibie menderita MD type Becker atau lebih dikenal dengan istilah BMD. Dalam buku Surga buat Habibie ini, Ibu Endang memberikan penjelasan mengenai BMD: Seiring pelemahan ototnya, penderita BMD biasanya juga bermasalah dengan pernafasan, jantung, tulang, dan persendian. BMD yang diderita Habibie bersifat progresif, artinya penyakit ini semakin hari semakin menggerogoti tubuhnya (hal.18).
Meskipun demikian, Ibu Habibie tidak menyerah pada keadaan. Dalam buku yang penyusunannya dibantu oleh Eyi Puspita itu, Ibu Habibie membeberkan perjuangannya agar sang anak memiliki perkembangan mental yang sama dengan anak lainnya. Hal ini menjadi penting agar sang anak mampu bersosialisasi dan memiliki mental yang setara dengan anak-anak normal lainnya. Ibu Habibie berkeyakinan bahwa tubuh Habibie boleh sajatidak sama dengan anak lainnya, namun otak Habibie tetaplah normal dan berkembang dengan baik.
“Yang cacat adalah tubuhnya, tapi otaknya tidak”. Begitu Ibu Habibie menggambarkan kondisi anaknya.
Untuk memupuk rasa PD Habibie, Ibu Endang tak pernah merasa sungkan dan malu membawa anaknya bersosialisasi. Ke manapun dirinya pergi, sang anak selalu dibawa. Ibu Endang menginspirasi siapapun ibu yang memiliki anak dengan keterbatasan fisik agar menerima dan mencurahkan kasih sayang sepenuhnya untuk sang anak. Bagaimanapun, keluarga adalah tempat pertama sang anak mendapat didikan untuk perkembangan mentalnya. Salah satu paragraf dalam bukunya, Ibu Endang mengajak agar setiap anak yang memiliki kekurangan fisik, tidak ‘dibuang’ oleh keluarganya:
Bayangkan , di satu pihak, terlahir dengan kondisi fisik yang cacat sudah merupakan penderitaan tak tertahankan bagi seseorang. Di lain pihak, penolakan orang tua akan membuat hatinya merana. Beban penderitaannya akan bertambah tanpa kasih sayang dan perhatian… mentalnya akan semakin down karena penolakan dari lingkungan terdekat. …
… Kalau saja keluarga sebagai ‘ring satu’ tidak mau menerima anggota keluarga yang cacat, apalagi orang lain? aku ngeri membayangkan kejadian seperti itu. aku tidak mau anakku merana. Aku mau anakku bahagia walau dalam kelemahan fisiknya. Aku mau anakku ceria dalam kehangatan canda dan pelukan mesra orang tua serta saudara-saudaranya. Aku ingin membekali anakku dengan ilmu, bukan dengan harta. Tapi alangkah indahnya bila orang tua mampu memberikan keduanya sebagai bekal hidup. Aku ingin menempatkan anakku pada tempat yang terhormat agar dia dimuliakan dan disegani orang lain (hal 48).
Berkat ketelatenannya, Ibu Habibie berhasil mendidik anaknya agar merasa setara dengan anak ‘normal’ lainnya. Dan apa yang dilakukan sang ibu terbukti berhasil. Habibie tumbuh menjadi remaja yang penuh percaya diri. Salah satunya terlihat dari prestasi sekolahnya yang setara seperti anak lainnya, bahkan lebih baik dibandingkan anak ‘normal’ sekalipun. Malah, ketika dilakukan tes IQ, Habibie menunjukkan prestasi di atas rata-rata. Hal inilah yang membuat Ibu Habibie yakin bahwa anaknya mampu berkembang dengan baik meskipun memiliki keterbatasan fisik. Di sini ibu Habibie menginspirasi siapapun agar tidak melihat para penyandang cacat dari keterbatasan fisiknya, karena sesungguhnya dibalik keterbatasan fisik tersebut, bisa saja tersimpan sebuah kecerdasan otak yang mampu mengantarkan seorang tuna daksa berprestasi.
Dalam perjalanan membimbing dan mendidik anaknya, keikhlasan Ibu Endang benar-benar diuji. Termasuk ketika Habibie akan melanjutkan ke SMA. Beberapa kali Ibu Habibie harus beradu argumentasi agar anaknya diterima bersekolah di sekolah umum. Namun rupanya, fasilitas untuk anak berkebutuhan khusus tidak sama dengan fasilitas yang sudah ada saat ini.
Dalam buku ini, disinggung pula bagaimana pemerintah negeri kita yang kurang memperhatikan saudara-saudara yang memiliki kekurangan dalam hal fisik ini. Hampir semua fasilitas umum di Indonesia tidak ramah terhadap para tuna daksa atau yang berkursi roda, sehingga mereka mengalami kesulitan ketika bepergian. Ibu Habibie membandingkan keadaan negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang sudah lebih ramah terhadap para penderita kekurangan fisik tersebut.
Selain menceritakan tentang perjuangannya membesarkan Habibie yang berkebutuhan khusus, buku ini juga menceritakan tentang kehidupan pribadi Ibu Endang yang tak pernah menyerah pada keadaan. Berkat ketekunan dan keuletannya, Ibu Endang berhasil mencapai sesuatu yang selama ini diimpikannya. Menjadi manusia sukses. Dan berkat keuletannya pula, ia berhasil membawa anaknya, Habibie, menjadi seorang netpreneur sukses pada usia yang relatif muda, meskipun fisiknya berbeda dengan orang kebanyakan.
oOo
Ibu Habibie dan anaknya adalah duet yang istimewa. Ditengah ujian kesabarannya, sang ibu berhasil membentuk pribadi anaknya untuk tidak menyerah pada keadaan. Habibie berhasil mencapai sesuatu yang tidak mudah dicapai oleh orang normal sekalipun. Butuh perjuangan hebat untuk mencapainya. Dan Habibie sudah membuktikannya. Mereka berdua kini menjadi duo inspirasi bagi para orang tua atau siapapun yang mempunyai ikatan dan keperdulian terhadap mereka yang berkebutuhan khusus seperti Habibie.
Habibie Afsyah, yang juga seorang kompasianer itu kini berusia 22 tahun. Habibie telah memberikan inspirasi kepada siapapun untuk tidak menyerah pada keadaan. Semangatnya yang luar biasa untuk menggapai cita-cita patut menjadi contoh siapapun.
Ibu Habibie, adalah seorang luar biasa yang berdiri di belakang keberhasilan anaknya. Ketegaran, Keikhlasan, Keuletan, Ketekunan, serta kesabarannya berhasil membawa sang anak pada pencapaian yang mengagumkan. Kasih sayang luar biasa darinya berhasil membentuk Habibie dewasa menjadi orang yang sukses di dunianya.
Habibiedan Ibunya adalah Inspirasi nyata yang diperlihatkan Tuhan kepada Kita semua agar selalu bersyukur dan tidak pernah menyerah pada keadaan, apapun dan bagaimanapun itu. Keuletan dan keikhlasan adalah dua hal yang mampu meruntuhkan dinding ketidak berdayaan yang terbentuk oleh sebuah keterbatasan. Mereka berdua telah membuktikannya. Dan buku “Surga buat Habibie” adalah catatan yang harus anda baca untuk mengetahui perjuangan dan keberhasilan mereka. (HS)
Kakimanangel, 23032011.
[caption id="" align="aligncenter" width="269" caption="selalu ada keindahan dibalik warna yang berbeda - HS.2011"]
Nb: terima kasih untuk Ibu Habibie yang telah mengirimi saya dua buku, “Surga buat Habibie” dan “Kelemahanku adalah Kekuatanku”. Surprise sekali rasanya dikirimi langsung oleh dua penulisnya langsung. Duo inspirator.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H