Bulutangkis adalah salah satu cabang olahraga yang sangat populer di Indonesia (selain sepakbola tentunya). Hampir pada setiap pertandingan event internasional, atlet bulutangkis Indonesia selalu berhasil mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia raya di negeri orang. Sejak tahun 1970-an, atlet bulutangkis Indonesia selalu berhasil menjadi pemuncak pada berbagai kejuaraan. Sebut saja Christian Hadinata, Lim Swie King, Icuk Sugiarto, Rudy Hartono, Ivana Lie, Susy Susanti, Alan Budikusuma, Ardi Wiranata, Haryanto Arbi, hingga Ricky Subagja/Rexy mainaki, silih berganti mengharumkan nama Indonesia pada event-event kejuaraan bulutangkis internasional.
Estafet prestasi atlet-atlet bulutangkis Indonesia berjalan mulus sejak era Christian Hadinata hingga era Taufik Hidayat. Bahkan pada tahun 90-an, perbulutangkisan Indonesia mengalami puncak kejayaannya. Tiongkok, Korea, dan Jepang, yang kini merajai perbulutangkisan dunia, sempat bertekuk lutut di tangan atlet-atlet Indonesia saat itu.
Begitu pula di tahun 2000-an, Taufik Hidayat dan Hendra Setiawan/Markis Kido turut mengharumkan prestasi Indonesia pada event badminton internasional, termasuk pada Olimpiade. Dan yang terbaru adalah pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang berhasil mengumandangkan lagu Indonesia raya ketika merebut medali emas pada Olimpiade Rio de Janeiro, Brazil, Agustus lalu.
Jika saya amati, memang persaingan di dunia bulutangkis saat ini sangat ketat. Prestasi atlet dari berbagai negara sudah merata dan mampu bersaing. Thailand misalnya, kini mempunyai Ratchanok Intanon di sektor tunggal puteri. Atau Denmark yang memiliki pasangan kuat Joachim Fiescher Nielsen/Christina Pedersen yang baru saja menjuarai kejuaraan Denmark Super Series Premier.
Bahkan Spanyol, yang sebelumnya tidak pernah berprestasi pada kejuaran bulutangkis, kini mampu berbicara di level dunia melalui Carolina Marin di tunggal puteri. Pemerataan kekuatan inilah yang patut diwaspadai oleh PBSI selaku motor pengelola perbulutangkisan di Indonesia.
Sejak berakhirnya perhelatan bulutangkis Olimpiade Rio, Agustus lalu, prestasi bulutangkis Indonesia seperti mengalami penurunan. Entah karena masih merasakan euforia kemenangan Owi/Butet, atau memang sedang apes, beberapa kali penyelenggaraan kejuaraan internasional (terutama level super series/super series premier), Indonesia tidak mampu membawa pulang titel juara. Level super series dan super series premier adalah level tertinggi pada kejuaraan bulutangkis internasional.
Pada empat kejuaraan level super series/super series premier (SS/SSP) yang digelar pascaolimpiade, Indonesia pulang dengan tangan hampa. Tanpa gelar juara. Sebut saja pada Japan Open SS, atlet Indonesia harus tersingkir di babak semifinal. Hendra/Ahsan harus bertekuk lutut di tangan atlet muda Tiongkok, Li Junhui/Liu Yuchen dengan skor 21-13, 18-21, dan 21-15. Kondisi serupa terjadi pada Korea Open SS yang dihelat pada akhir september hingga awal Oktober.
Indonesia yang hanya diwakili Hendra/Ahsan, lagi-lagi harus tersingkir di babak perempatfinal. Lagi-lagi Hendra/Ahsan ditekuk oleh Li Junhui/Liu Yuchen dengan 21-16, 21-11.
Kemudian pada Denmark Open Super Series Premier yang digelar minggu lalu, lagi-lagi Indonesia berhasil menembus babak semifinal. Namun gagal membawa pulang gelar juara setelah Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi serta Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, yang menembus babak semifinal, kalah dari lawannya masing-masing. Angga/Ricky kalah dari pasangan Thailand Bodin Issara/Nipitpon Phuangphuapet. Sedangkan GreysNit kalah dari pasangan Korea, Jung Kyung Eun/Shin Seung Chan.
Dan yang terbaru adalah French Open Super Series yang masih digelar hingga hari ini (30/10). Lagi-lagi Indonesia pulang tanpa membawa gelar setelah satu-satunya pasangan yang menembus babak semifinal, harus kalah. Angga/Ricky lagi-lagi harus menelan pil pahit dari pasangan Thailand yang mengalahkannya di Odense, Denmark. Angga/Ricky yang sempat unggul 19-16 di set ketiga, kembali harus mengakui keuletan Bodin Issara/Nipitpon Phuangphuapet dengan skor menyakitkan 18-21, 21-17, dan 19-21.
Memang, pada level di bawah SS dan SSP, kerja keras atlet Indonesia membuahkan hasil. Sebut saja pada kejuaraan Indonesia Master (level Grandprix Gold. Satu level di bawah SS). Indonesia berhasil membawa dua gelar, masing-masing dari ganda campuran dan ganda putera. Dari ganda campuran pasangan Ronald Alexander/Melati Daeva Oktavianti mempecundangi ganda campuran negeri jiran Malaysia, Kiang Meng Tan/Pei Jing Lai, dengan skor 21-16 dan 21-17. Sedangkan di sektor ganda putera, pasangan dadakan Wahyu Nayaka/Kevin Sanjaya menang atas Han Chengkai/Zhou Houdong (Tiongkok) dengan 21-16 dan 21-18.