Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suami Kadang Jadi Penghambat KB

22 Desember 2010   23:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ke depan, kantor saya akan kembali melaksanakan pelayanan KB gratis. Kali ini yang akan dilayani secara Cuma-Cuma adalah pelayanan KB MOW (Metode Operasi Wanita). Metode ini lebih dikenal dengan nama tubektomi atau sterilisasi. Metode KB ini dilakukan dengan cara mengikat atau memotong salah satu bagian rahim, yaitu saluran telur (tuba falopii). Kedua saluran telur (bagian kanan dan kiri) diikat supaya sel telur tidak keluar dari saluran telur tersebut. metode ini dilakukan dengan cara mengoperasi dinding perut pasien untuk kemudian mengikat saluran telur agar fertilisasi menjadi terhambat. Mungkin anda bisa mencari artikel tentang MOW ini di bagian lain tulisan saya. silakan search saja. Saya kali ini tidak ingin menjelaskan tentang MOW ini karena memang sudah pernah saya bahas sebelumnya.

-hs-

Sekitar tiga hari yang lalu saya beredar ke lapangan untuk mensosialisasikan penyelenggaraan pelayanan MOW tersebut. Tepat di salah satu RW di wilayah binaan saya, ada seorang ibu yang sudah mempunyai empat orang anak. Ibu ini tertarik dengan program MOW gratis ini. maka, saya pun mengajaknya untuk memakai MOW. Hati saya sungguh miris dan sedih manakala hari ini saya mendapat cerita dari beberapa orang kader saya di lapangan, ketika saya memastikan keikut sertaan si ibu calon akseptor tersebut. Menurut informasi yang disampaikan kader posyandu tersebut, si ibu calon akseptor ini berasal dari keluarga pra sejahtera. Sebutan untuk keluarga yang sangat miskin sekali. Yang membuat saya geram adalah perilaku suaminya. Maaf, bukan maksud saya menghina, namun berdasarkan cerita dan fakta yang dilihat oleh ibu-ibu kader posyandu. Suami si calon akseptor ini terdengar kurang ajar. Secara pekerjaan, dia tak mempunyai pekerjaan tetap. Usianya sudah hampir menginjak enam puluh, sementara si calon akseptor belum lebih dari empat puluh. Jumlah anaknya empat. Anak terkecil baru berusia dua bulan. Prosesi persalinannya sungguh beresiko menyebabkan kematian, karena pecah ketuban duluan, namun si suami nampak tak peduli, hingga para tetangga membawa si calon akseptor ini bersalin di rumah sakit. Anak terbesar mungkin sekitar kelas tiga SD. Namun tidak disekolahkannya. Malah, katanya, disuruh menjadi peminta-minta di jalan raya. Anak yang kedua pun bernasib sama. Namun hari ini dia menolak ikut sang bapak. Dan memilih ikut si ibu pergi ke posyandu. Mungkin capek harus meminta-minta di jalan raya, sementara anak sebayanya masih asyik bermain-main dengan mainan setaraf umurnya. Si ibu calon akseptor sendiri harus menjadi pemulung. Mirisnya, ketika kandungannya belum lahir kemarin, dia masih sempat memulung barang-barang rongsokan. Sungguh keterlaluan suami si calon akseptor ini. saya menjadi geram manakala si suami ini tidak peduli dengan keluarga dan nasib istrinya. Dia tidak membolehkan sang istri mengikuti pelayanan gratis MOW dari kantor saya. Padahal dengan mengikuti pelayanan ini, setidaknya beban si suami ini untuk menafkahi keluarganya tidak akan seberat jika dia beranak banyak.

-hs-

[caption id="" align="alignright" width="314" caption="ilustrasi penyuluhan kb terhadap para bapak - HS.2010"][/caption] Saya melihat kasus ini sebagai bentuk ketidak perdulian kaum pria terhadap program KB. Kaum pria yang berasal dari kalangan bawah dan berpendidikan kurang memadai memang tak jarang malah menolak program KB. Mereka seperti ketakutan jika istrinya mengikuti program KB, mereka akan kehilangan “kenikmatan” ketika berhubungan. Sungguh, ini sebenarnya sebuah tantangan bagi kami untuk memberikan pemahaman kepada mereka. karena kontribusi para suami ini adalah sebuah keharusan jika ingin memiliki keluarga berencana dan sejahtera yang akan membentuk keluarga berkualitas. Dari kasus yang saya temui di lapangan, tak jarang, yang menjadi momok penghambat mulusnya program KB adalah pihak laki-laki. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, justru pihak laki-laki akan diuntungkan karena akan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan keluarganya. Keluarga seperti si calon akseptor yang saya temui di lapangan tadi, masih banyak bertebaran di sejumlah daerah. Memiliki rumah alakadarnya, penghasilan tak menentu, anak-anak tak terawat dengan baik, namun tidak mau mengikuti program KB. Keluarga-keluarga seperti inilah yang menjadi sasaran kita yang peduli dengan sesama dan concern dengan kemajuan bangsa Indonesia. Mari membantu sesama dengan cara mengajak mereka, khususnya para pria, untuk semakin sadar KB.(HS) Kakimanangel-22122010 dimuat juga di blog TK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun